“Perbaikan Sistem, Prasyarat Transparansi Industri Migas”

Jeany Hartriani
16 Oktober 2017, 13:17
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi
Arief Kamaludin | Katadata

Salah satu permasalahan di industri minyak dan gas adalah data yang belum terdigitalisasi. Akibatnya, informasi yang tersebar di banyak institusi sulit diakses. Padahal, data yang akurat dan aktual diperlukan bagi para pembuat kebijakan, pelaku industri, maupun masyarakat umum. Selain itu, pengelolaan data yang baik, terbuka, dan mudah diakses juga mendukung upaya transparansi sektor tersebut.

Upaya transparansi industri ekstraktif di Indonesia sebenarnya telah dilembagakan dalam Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) melalui Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif. Di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, EITI merupakan wadah bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil dalam mendorong keterbukaan sektor migas dan minerba.

Aspek utama yang disoroti EITI adalah transparansi data setoran perusahaan dan penerimaan pemerintah. Dengan dibukanya informasi tersebut, masyarakat dapat mengetahui dan ikut mengawasi setoran pajak perusahaan migas hingga besaran lifting yang dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Namun, upaya ini justru akan berujung pada ketidaksingkronan jika masing-masing data memiliki perbedaan waktu dan cara penghitungan.

Pentingnya perbaikan manajemen dan singkronisasi data untuk mendukung transparansi merupakan hal yang disoroti oleh Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Amien Sunaryadi. “Sebelum membahas bagaimana transparansi ke publik, kita harus bangun dulu sistemnya,” ujar mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007 ini kepada Katadata saat diwawancarai di kantornya, Senin (2/10).

Apa masalah utama transparansi sektor migas di Indonesia?

Jika media, lembaga swadaya masyarakat, maupun pihak internasional lebih banyak menanggapinya dari perspektif sosial politik, bagi saya akar permasalahannya adalah urusan teknis, yaitu data. 

Apakah terkait dengan penyimpanan dan pengelolaan data?

Pertama, data kita itu belum digital. Kebanyakan dokumen masih berbentuk hardcopy. Kita harus memikirkan bagaimana caranya menjadikan ini digital. Kedua, kita perlu mengatur siapa saja yang boleh mengakses data tersebut. Jadi kalau bicara transparansi, tidak bisa langsung nembak pemerintah tidak terbuka. Pemerintah itu sebenarnya sangat ingin transparansi. Cuma menurut saya masalah sesungguhnya bukan di situ, tapi di akses data.

Transparansi data keuangan industri migas juga menjadi sorotan, antara lain karena masih ada perbedaan data antar lembaga pemerintahan. Bagaimana anda menanggapi ini?

Kalau ditanya transparansi keuangan, sesuatu yang belum menjadi sistem tentu tidak bisa dilihat. Jadi yang harus dipahami adalah bagaimana mengkoneksikan semuanya menjadi satu sistem berkesinambungan antara Ditjen (Direktorat Jenderal) Keuangan, Ditjen Migas, maupun SKK Migas. Baru setelah itu kita bicara bagaimana transparansinya, mana yang boleh dibuka ke publik dan mana yang tidak. Untuk sekarang, SKK Migas bahkan belum tahu bagaimana hitung-hitungannya. Jadi sebelum membahas bagaimana transparansi ke publik, kita harus bangun dulu sistemnya. 

Terkait transparansi ke publik, di Indonesia telah muncul inisiatif yang berasal dari pemerintah, industri ekstraktif, dan masyarakat sipil untuk mendorong keterbukaan, khususnya di sektor migas dan minerba. Inisiatif ini menemukan perbedaan antara setoran perusahaan dengan penerimaan pemerintah. Bagaimana ini bisa terjadi?

Halaman:
Reporter: Jeany Hartriani
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...