Rabu 8/2/2017, 03.00 WIB

AJANG Pemilihan Kepala Daerah yang bakal dilangsungkan pertengahan Februari ini membuat “suhu” Jakarta kian panas. Para calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI beradu argumentasi berjanji membuat ibu kota negara ini kian maju.

Tapi tampaknya ada yang luput dari pengamatan media, publik, pemerhati tata kota, bahkan para kandidat dalam dua kali debat Pilkada lalu. Tender proyek jalan berbayar secara elektronik alias Electronic Road Pricing (ERP) yang kini sedang digelar dan diharapkan menjadi salah satu solusi pengurai kemacetan Jakarta ditengarai mengandung sejumlah persoalan.

Suasana kepadatan kendaraan di Kawasan Sudirman-Thamrin. Donang Wahyu|Katadata.

Salah satu persoalan itu tentang teknologi yang bakal dipilih untuk penerapan sistem ERP pertama di Indonesia ini. Soal akuntabilitas proses tender yang kini sudah memasuki tahap prakualifikasi pun kini mulai menjadi sorotan.

Lelang ini dinilai kontroversial karena pengadaan sistem ERP langsung berfokus pada satu teknologi saja, yakni teknologi komunikasi jarak pendek atau Dedicated Short Range Communication (DSRC) frekuensi 5,8 GHz. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 149 Tahun 2016, khususnya pasal 8 ayat (1) huruf c.

Klausul inilah yang disorot tajam Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena berpotensi memunculkan persaingan usaha tidak sehat dan melanggar Undang Undang Persaingan Usaha. Sebab, dengan adanya ketentuan tersebut, aturan ini tidak memberikan kesempatan kepada pelaku usaha yang bisa menyediakan teknologi lainnya.

Teknologi sistem ERP sesungguhnya sangat beragam. Setidaknya ada tiga kategori teknologi yang bisa diterapkan. Pertama, berbasis frekuensi radio, yaitu Radio Frequency Identification (RFID) dan Dedicated Short Range Communication (DSRC). RFID menggunakan frekuensi 860 MHz dan 2,45 GHz, sedangkan DSRC menggunakan frekuensi antara 5,8 GHz hingga 5,9 GHz. Kedua, berbasis kamera yaitu Automatic Plate Number Recognition (ANPR) yang merupakan metode pengenalan karakter nomor plat kendaraan dari video atau gambar yang terekam kamera. Ketiga, berbasis data satelit, yaitu Global Navigation Satellite System (GNSS) yang merupakan teknologi dengan memanfaatkan data posisi kendaraan berdasarkan satelit.

 Lelang ini dinilai kontroversial karena pengadaan sistem ERP langsung berfokus pada satu teknologi saja, yakni teknologi komunikasi jarak pendek atau Dedicated Short Range Communication (DSRC) frekuensi 5,8 GHz.

Melihat gelagat itu, KPPU memandang perlu adanya revisi atas Peraturan Gubernur yang mendasari lelang tersebut. Tender diminta open technology alias tak lagi hanya dibatasi kepada teknologi tertentu, dalam hal ini DSRC. Dengan begitu, seperti diungkapkan oleh Ketua KPPU Syarkawi Rauf, tidak ada lagi diskriminasi terhadap provider teknologi lain.

Sokongan atas sikap KPPU datang dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI). Dalam suratnya kepada Plt. Gubernur DKI Jakarta Sumarsono, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo Samuel Abrijani Pangerapan, menyatakan seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, perlu dibuka kesempatan untuk teknologi lain dan layanan berbasis aplikasi.

Surat tersebut dilayangkan Samuel guna merespons surat Ketua Umum ATSI kepada Plt. Gubernur bertanggal 25 November 2016, yang ditembuskan kepada Menteri Kominfo Rudiantara dan Dirjen Aplikasi Informatika.

Keterlibatan Kominfo cukup vital, mengingat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 (Bab II pasal 6 ayat 1) ditegaskan bahwa perangkat keras yang digunakan dalam penyelenggaraan sistem elekronik harus terlebih dulu memperoleh sertifikat kelaikan dari Menteri Kominfo.

Kemacetan Jakarta
Kepadatan lalu lintas Jakarta. Arief Kamaludin|Katadata.
ERP Jakarta
Gantry ERP di Kawasan Kuningan, Jakarta. Arief Kamaludin|Katadata

Selain itu, dalam ayat 2 pasal yang sama ditegaskan pula bahwa penyelenggara sistem elektronik wajib memastikan netralitas teknologi dan kebebasan memilih dalam penggunaan perangkat keras.

Menanggapi serentetan tuntutan itu, Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan terbuka atas input yang diberikan. Meski begitu, mereka tak serta-merta menerimanya, dan janji revisi pun hingga kini masih digantung. Sebab, menurut Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Sigit Wijatmoko, kajian ERP sesungguhnya telah dilakukan sejak lama, yakni 2006.

ERP, Solusi Kemacetan Jakarta

Jakarta sejak lama mendapat predikat sebagai kota dengan lalu lintas terburuk ke-7 di dunia. Ini berarti hanya sedikit lebih baik dari Kalkuta (India), Dhaka (Bangladesh), Mumbai (India), Sharjah (Uni Emirat Arab), Nairobi (Kenya), dan Manila (Filipina).

Kemacetan lalu lintas di ibu kota negara ini sangat parah, bahkan tak mengenal waktu. Kemacetan paling buruk terjadi pada jam-jam sibuk pagi dan petang hingga menjelang malam. Dibantu Polisi Daerah Metro Jaya, Pemerintah DKI Jakarta sudah berusaha mengatasi kemacetan dengan sejumlah kebijakan. Salah satunya “3-in-1” (kendaraan minimal berpenumpang tiga orang).

Akan tetapi, pada Mei 2016 Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakhiri kebijakan ini karena dianggap tidak berhasil mengatasi kemacetan lalu lintas. Kebijakan 3-in-1 diganti oleh sistem “Ganjil-Genap” bagi mobil-mobil berpelat nomor hitam. Sejauh ini sistem ganjil-genap juga belum berhasil. Kemacetan parah lalu lintas masih terus terjadi.

Buruknya kondisi lalu lintas Jakarta terjadi karena pembangunan infrastruktur transportasi lebih lambat dibanding pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi (mobil dan motor) dan perjalanan para komuter.

    
 

Data Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyebutkan, pada 2014 jumlah motor yang melintas Ibu Kota mencapai sekitar 6,7 juta unit, sedangkan mobil pribadi 3,2 juta kendaraan. Data ini belum termasuk truk, bus dan kendaraan-kendaraan khusus. Mobil dan motor di Jakarta bertumbuh 12 persen per tahun.

Di sisi lain, panjang jalan di Jakarta hanya 6,695 kilometer (km), dengan pertumbuhan hanya 0,01 persen per tahun. Tak sebandingnya pertumbuhan kendaraan dan panjang jalan ini yang membuat kemacetan parah.

Berdasarkan “Rencana Induk Transportasi Jakarta” pemerintah daerah menyiapkan tiga strategi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota. Pertama, meningkatkan penggunaan transportasi publik dengan Bus Rapid Transit (BRT) atau Busway—sudah beroperasi di 12 koridor; transportasi berbasis rel, seperti Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transport (LRT); serta waterway.

Kedua, pembangunan infrastruktur jalan, tempat parkir, dan trotoar. Ketiga, pembatasan kendaraan dengan kebijakan 3-in-1, pembatasan parkir, hingga pemberlakuan jalan berbayar. Terkait itu, sejak 2006 Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta telah melakukan studi penerapan jalan berbayar (ERP) mirip di Singapura dan sejumlah negara di Eropa.

Studi JICA sebagai Pijakan

Setelah lebih dari satu dasawarsa, Pemda DKI Jakarta kini menggeber proses lelang ERP yang dimulai sejak akhir Juli 2016. Rencananya, pengumuman pemenang tender akan ditentukan pada September atau Oktober mendatang.

Teknologi ERP yang dipilih dalam proses tender ini semula telah ditetapkan hanya sebatas DSRC. Dinas Perhubungan Jakarta beralasan, teknologi ini dipilih karena selain sudah melalui serangkaian uji coba, juga berbasiskan studi oleh Japan International Cooperation Agency (JICA).

Jika ditelisik lebih mendalam, studi JICA yang dilakukan sejak 2014 dan hasilnya dirilis pada Maret 2015 itu ternyata hanya berupa studi kelayakan bisnis (feasibility study) penerapan sistem ERP berbasis DSRC di Jakarta. Dengan kata lain, studi ini tidak mengkaji perbandingan teknologi untuk menetapkan mana teknologi yang paling tepat diterapkan di Jakarta.

Hal ini terpapar dengan gamblang di bagian penjelasan maksud dan tujuan laporan studi itu, yang menyebutkan bahwa riset ini untuk melakukan studi kelayakan menyangkut investasi dan bisnis perusahaan Jepang di bidang ERP. Perusahaan Jepang yang dimaksudkan, tampaknya Mitsubishi Heavy Industries, Ltd. yang menjadi partner JICA dalam studi ini, dan kini merupakan salah satu peserta tender ERP Jakarta.

 Jika ditelisik lebih mendalam, studi JICA yang dilakukan sejak 2014 dan hasilnya dirilis pada Maret 2015 itu ternyata hanya berupa studi kelayakan bisnis (feasibility study) penerapan sistem ERP berbasis DSRC di Jakarta. Dengan kata lain, studi ini tidak mengkaji perbandingan teknologi untuk menetapkan mana teknologi yang paling tepat diterapkan di Jakarta.

Adapun serangkaian uji coba yang dimaksudkan Pemda DKI tampaknya merujuk pada survei yang sudah dilakukan sejak 2014 oleh Kapsch (Swedia) dan Q-Free (Norwegia). Kedua perusahaan ini melakukan uji coba penerapan ERP berbasis teknologi DSRC frekuensi 5,8 GHz di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan H.R Rasuna Said (Kuningan). Sedikitnya dua gantry dipasang di kedua jalan tersebut.

Gantry adalah gerbang setinggi sekitar 5 meter dilengkapi kamera berkecepatan atau juga teknologi sensor berbasis DSRC untuk mendeteksi On Board Unit (OBU) pada kendaraan. OBU adalah semacam perangkat transmitter yang dipasang di dalam kendaraan. Fungsinya memancarkan sinyal elektronik yang akan dibaca oleh receiver di gantry atau juga pusat kendali.

Kapsch bekerjasama dengan PT Alita Praya Mitra dan PT Toba Sejahtera milik Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan untuk uji coba di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Sedangkan Q-Free bekerjasama dengan IBM Indonesia melakukan uji coba di jalan Rasuna Said, Kuningan.

Uji coba ERP berbasis DSRC diklaim berhasil dengan tingkat akurasi deteksi OBU 95 persen. Karena itu, Dinas Perhubungan DKI berkukuh, teknologi DSRC dengan frekwensi 5,8 GHz merupakan yang paling tepat untuk diterapkan. Meski begitu, sebagian pihak meragukan klaim tersebut berhubung hasil uji coba belum pernah disertifikasi dan dipublikasikan.

Konsorsium Kapsch dan Q-Free kabarnya kini ikut meramaikan tender ERP. Adanya sorotan tajam KPPU yang meminta agar Pemda DKI merevisi aturan tender dengan membuka kesempatan terhadap teknologi lain di luar DSRC, sempat memunculkan spekulasi adanya upaya “lobi” dari Duta Besar Swedia Johanna Brismar Skoog saat mengunjungi KPPU pada 12 Januari lalu bersama perwakilan Kapsch dan Alita.

Studi NUS dan Peralihan Singapura

Di tengah proses tender inilah, sebuah kabar menarik berhembus dari Singapura. Sebuah studi yang dilakukan oleh National University of Singapore (NUS) justru punya kesimpulan berbeda. Menurut penelitian universitas terbaik di Asia ini, teknologi yang paling cocok diterapkan untuk Jakarta adalah teknologi berbasis satelit (GNSS).

Studi bertajuk Smart Mobility in Jakarta City” yang baru dilansir pada 2016 ini dipimpin oleh Prof. Lee Der Horng dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan NUS. Lee dikenal sebagai pakar teknik transportasi.

Sekembalinya dari mengajar dan menjadi dekan di Southwest Jiaotong University (SWJTU) dan Beijing University of Technology (BJUT), Cina, ia didapuk menjadi Direktur Pusat Riset Transportasi yang didirikan oleh NUS dan Otoritas Transportasi Darat Singapura.

Kabar penting lainnya, Singapura sebagai salah satu negara pelopor ERP di dunia, pada 2018 sudah akan meninggalkan teknologi DSRC yang diberlakukan sejak 1998, dan beralih ke GNSS. Teknologi satelit yang dipelopori oleh Jerman ini, sudah pula diterapkan di Slovakia, Hongaria, Rusia, Belgia, dan Swiss.

Studi NUS menyebutkan, sejumlah negara di Eropa lainnya juga bersiap-siap meninggalkan DSRC. Republik Ceko, Lithuania, Norwegia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Swedia, dan Denmark termasuk yang mulai mempertimbangkan teknologi GNSS sebagai solusi ERP di masa mendatang.

Di tengah arus perubahan ini, menjadi pertanyaan mengapa Jakarta tak juga mempertimbangkan ulang teknologi ERP yang akan dipakai, dan hanya berkutat pada sistem DSRC yang mulai akan ditinggalkan?

nocrop
 

Tuntutan Revisi dan Tender Ulang

Desakan untuk adanya revisi Peraturan Gubernur belakangan kian menguat setelah muncul suara serupa dari sejumlah lembaga lainnya. Bahkan KPPU dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mendesak perlunya dilakukan tender ulang, setelah aturan itu direvisi.

Dalam upaya mencari kata sepakat, maka digelarlah pertemuan pada siang 26 Januari lalu di lantai 2 Balaikota Pemprov Jakarta. Selain dihadiri instansi dari Pemda, turut hadir pula sejumlah Kementerian dan Lembaga, termasuk mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam rapat yang dipimpin oleh Sekretaris Daerah DKI Saefullah itu, mayoritas instansi yang hadir kabarnya menginginkan agar revisi Pergub tidak mensyaratkan teknologi tertentu. Dengan begitu, tender pengadaan ERP Jakarta bisa lebih terbuka untuk semua teknologi (open technology).

Instansi tersebut adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kepolisian, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), termasuk KPPU.

Penegasan ini juga dituangkan LKPP dalam suratnya tertanggal 26 Januari 2017 yang ditandatangani oleh Direktur Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Khusus G.A.A Diah Ambarawaty dan dikirimkan kepada Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi Jakarta.

Dalam surat berperihal “Tanggapan atas permohonan arahan terkait pemilihan teknologi sistem ERP dalam Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2016” itu dituliskan:

 "Sebaiknya tidak mencantumkan spesifikasi input seperti penggunaan spesifikasi teknologi tertentu yang membatasi inovasi dalam mencapai efisiensi dan kualitas layanan yang dapat diberikan oleh badan usaha pelaksana. Sebaiknya spesifikasi yang didefinisikan adalah spesifikasi output dengan menentukan service level standard/minimum terukur yang harus dicapai oleh badan usaha pelaksana.”

Di sisi lain, ada sejumlah pihak yang semula berkukuh bahwa Pergub tidak perlu revisi. Instansi di pihak ini adalah Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) dan Kejaksaan. Mereka beralasan teknologi DSRC dengan frekwensi 5,8 Ghz yang diatur dalam Pergub 149/2016, telah terbukti di berbagai negara dan telah diuji coba di Jakarta.

 Terhadap usulan revisi yang disusun oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta ini, muncul juga kecurigaan bahwa ini sesungguhnya hanya sekadar kemasan baru dari wajah lama teknologi DSRC yang bersalin rupa menjadi gelombang mikro. 

Belakangan kubu ini mulai sedikit mengendur dengan sepakat untuk melakukan revisi. Namun, tetap menegaskan perlunya pencantuman kriteria teknologi sebagai aturan main dalam tender. Dalam draf revisi Pergub yang diperoleh Katadata, memang tak ada lagi kriteria teknologi DSRC, seperti tercantum dalam pasal 8 ayat (1) huruf c. Melainkan, digantikan dengan kriteria baru teknologi gelombang mikro frekuensi super tinggi (microwave super high frequency) jangka pendek.

Terhadap usulan revisi yang disusun oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta ini, muncul juga kecurigaan bahwa ini sesungguhnya hanya sekadar kemasan baru dari wajah lama teknologi DSRC yang bersalin rupa menjadi gelombang mikro. Terhadap kecurigaan ini, Wakil Kepala Dishub DKI Sigit Widyatmoko telah membantahnya.Ia bahkan mengklaim bahwa usulan itu telah sesuai dengan arahan KPPU.

Direktur Penindakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Goppera Penggabean yang ikut dalam rapat tersebut, tak buru-buru mengamini klaim Sigit. Pada prinsipnya, kata Goppera, KPPU menginginkan pelaksanaan tender ERP dilaksanakan secara adil dengan memperhatikan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan persaingan usaha tidak sehat.

Karena itu, KPPU berharap tender ini bisa memberikan kesempatan kepada pelaku usaha lain yang memenuhi kualifikasi utk menawarkan sistem dan teknologi ERP yang dimilikinya, sesuai kebutuhan Pemprov DKI.

Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2016
Tentang Teknologi Sistem Jalan Berbayar Elektronik

AsalUsulan Revisi Dishub (26 Jan 2017)Keterangan
Pasal 8(1)     Teknologi yang digunakan dalam Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Jalan Berbayar Elektronik adalah: Pasal 14Teknologi yang digunakan dalam pengendalian Lalu Lintas Jalan dengan pembatasan Kendaraan Bermotor melalui sistem Jalan Berbayar Elektronik adalah:
c. menggunakan komunikasi jarak pendek Dedicated Short Range Communication (DSRC) frekuensi 5,8 GHz(lima koma delapan gigahertz); c.  menggunakan teknologi komunikasi nirkabel gelombang mikro frekuensi super tinggi (microwave super high frequency) jarak pendek;Pasal 15(1)   Penggunaan teknologi komunikasi nirkabel gelombang mikro frekuensi super tinggi (microwave super high frequency) jarak pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c merupakan teknologi sistem komunikasi kendaraan ke jalan dalam jarak dekat dengan kriteria sebagai berikut:a.  dibuat khusus dan telah digunakan dalam pengendalian Lalu Lintas Jalan dengan pembatasan Kendaraan Bermotor melalui sistem Jalan Berbayar Elektronik pada ruas jalan, koridor, atau kawasan area perkotaandi dunia;b. digunakan sebagai identitas elektronik kepemilikan Kendaraan Bermotor;c.memiliki standar terbuka sehingga dapat berintegrasi antarmuka (interface) dengan sistem/teknologi perangkat lain (interoperability); dand. memiliki tingkat keamanan tinggi dalam proses transaksi pembayaran. c. perubahan sistem komunikasi yang digunakan, semula DSRC 5,8 GHz menjadi microwave super high frequency

Penulis
  • Heri Susanto
  • Padjar Iswara
  • Nur Farida Ahniar
  • Anshar Dwi Wibowo
Video / Foto
  • Donang Wahyu
  • Arief Kamaludin
Grafis / Desain
  • Robby Eebor
  • Ade Rahmat Hidayat
  • Dinda Pratika
Programmer
  • Arif Firmansyah
  • Muhammad Wendy
  • Bayu Mahdani