Contoh Puisi Pahlawan Karya Penyair Indonesia
Mengenang dan mengapresiasi jasa pahlawan bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui puisi pahlawan. Dengan karya sastra yang satu ini, penulis turut memberikan penghargaan kepada pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa.
Namun, sebelum membahas contoh puisi pahlawan, ada baiknya untuk memahami terlebih dahulu apa itu puisi?
Pengertian Puisi
Dalam khazanah sastra Indonesia, puisi memiliki sumbangsih yang cukup besar dalam kekayaannya. Perannya dalam menjaga eksistensi Bahasa Indonesia membuat setiap bait dan rimanya tidak bisa dipandang sebelah mata.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), puisi atau sajak merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Biasanya puisi berisi ungkapan penulis mengenai emosi, pengalaman maupun kesan yang kemudian dituliskan dengan bahasa yang baik sehingga dapat berima dan enak untuk dibaca.
Sementara itu, pakar sastra H.B Jassin mengatakan, bahwa puisi adalah suatu karya sastra yang diucapkan dengan perasaan dan memiliki gagasan atau pikiran serta tanggapan terhadap suatu hal atau kejadian tertentu.
Contoh Puisi Pahlawan
Dihimpun dari berbagai sumber, berikut beberapa contoh puisi pahlawan:
"Diponegoro"
Karya: Chairil Anwar
Di masa pembangunan ini
Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
***
"Gugur"
Karya: W.S. Rendra
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
Pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
Luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
Susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
Menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
Lima pemuda mengangkatnya
Di antaranya anaknya
Ia menolak
Dan tetap merangkak
Menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
Di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak
Maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya,
Ia berkata:
”Yang berasal dari tanah
Kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
Tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
Dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar