Memahami Cancel Culture, Fenomena yang Bisa Redupkan Karir Seseorang
Cancel culture artinya budaya penolakan. Istilah ini belakangan mulai banyak "digaungkan" oleh pengguna sosial, terutama di Twitter sebagai respons atas adanya skandal tertentu yang tengah viral.
Fenomena cancel culture mungkin terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Akan tetapi, di beberapa negara seperti Korea Selatan misalnya, cancel culture artinya upaya pemboikotan secara massal terhadap seseorang atas tindakannya yang dianggap menyinggung sesuatu atau dicap tidak pantas.
Pada dasarnya, cancel culture artinya merujuk pada tindakan untuk berhenti memberikan dukungan terhadap seorang tokoh atau publik figur yang telah melakukan sesuatu hal negatif. Orang yang diboikot melalui gerakan ini biasanya karirnya akan meredup dan bahkan hancur.
Untuk memahami lebih jauh tentang fenomena tersebut, simak penjelasan seputar cancel culture berikut ini.
Apa yang Dimaksud Cancel Culture?
Sebenarnya sampai saat ini belum ada definisi baku yang dapat menjelaskan apa itu cancel culture. Meski demikian, kita masih bisa mempelajari fenomena tersebut dengan melihat kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Secara harfiah cancel culture artinya upaya menolak keberadaan seseorang di ruang publik, karena dia sudah melakukan tindakan-tindakan negatif seperti skandal tertentu atau sejenisnya. Cancel culture bekerja sebagai hukuman sosial atas perbuatan negatif tersebut.
Cancel culture sebagaimana dikutip dari The Private Therapy Clinic, pada dasarnya adalah evolusi dari istilah boikot. Sebagian besar orang yang dibatalkan di sini terbatas pada ranah selebriti/tokoh masyarakat dan perusahaan terkemuka.
Pernyataan yang menyinggung dan bermakna ofensif, rasisme, atau berbagai hal yang dianggap kurang pantas oleh sebagian besar "kelompok" bisa memicu munculnya fenomena cancel culture.
Menurut Vox, seruan untuk melakukan cancel culture ini mampu mengakhiri karir tokoh publik yang terlibat skandal. Nama baiknya akan menjadi buruk di mata publik dan dia secara otomatis akan terasingkan.
Bagi banyak orang cancel culture artinya adalah sebuah cara untuk melawan balik publik figur yang dianggap bersalah. Mereka yang menyerukan cancel culture selalu menuntut pertanggungjawaban konkret dari tokoh tersebut.
Cancel culture juga bisa dikatakan sebagai jalan terakhir yang diambil oleh sebagian besar orang, untuk memberikan efek jera kepada tokoh maupun perusahan terkemuka yang sudah bertindak di luar norma. Oleh sebab itu, cancel culture telah menjadi alat keadilan sosial yang penting.
Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan dasar bahwa cancel culture artinya bentuk boikot. Singkatnya, seseorang atau kelompok yang melakukan cancel culture telah memutuskan untuk berhenti mendukung seseorang atau sesuatu berdasarkan pelanggaran yang nyata atau dirasakan.
Ada beberapa alasan mengapa orang-orang mengupayakan cancel culture. Misalnya yaitu:
- Dijadikan sebagai sanksi sosial.
- Untuk membuat tokoh atau publik figur kembali mempertimbangkan konsekuensi dari pernyataan atau tindakan mereka.
- Sebagai upaya mengungkap tindakan rasisme dan seksisme pada sebuah skandal.
- Membuat orang berpikir sebelum berbicara
- Untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atas pernyataan atau perilakunya.
Dampak Cancel Culture
Ibarat pisau bermata dua, melalui tindakan kolektif semacam ini tentunya bisa menimbulkan sejumlah dampak. Khususnya bagi orang yang memang dinilai bersalah karena telah melakukan perbuatan yang dianggap tidak pantas.
Untuk lebih jelasnya, berikut dampak dari cancel culture:
1. Dampak Positif
Dalam beberapa kasus, cancel culture cukup efektif untuk membawa perubahan. Ambil contoh, pada tahun 2016 banyak komunitas film memboikot Oscar karena kurangnya keragaman di antara nominasi. Kemudian pada 2019, Oscar mencetak rekor nominasi terbanyak untuk sutradara kulit hitam.
Kasus di atas merupakan salah satu dampak positif dari cancel culture. Kemampuan kolektif yang dilakukan secara bersamaan melalui pemboikotan ini mampu membuat tokoh dan sejumlah pihak berpikir dua kali, sebelum berperilaku tidak pantas atau memposting pemikiran dan pendapat yang berpotensi menyinggung sesuatu.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif cancel culture bisa dirasakan oleh pihak yang memboikot dan pihak yang menjadi objek pembatalan tersebut.
Tokoh yang menjadi objek dalam cancel culture seringkali diintimidasi. Bentuknya bukan hanya boikot semata, namun cenderung lebih seperti tindakan bullying atau perundungan.
Mereka yang diboikot akan merasa dikucilkan, terisolasi secara sosial, dan kesepian. Menurut sebuah penelitian ilmiah yang dipublikasikan di BMC Psychiatry, menunjukkan bahwa kesepian dikaitkan dengan kecemasan, depresi, dan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi.
Proses cancel culture ini dianggap mematikan semua komunikasi dan tidak memberi ruang pada orang yang dianggap bersalah untuk melakukan klarifikasi atas tindakannya. Selain itu, fenomena ini seringkali merampas kesempatan tokoh tersebut untuk belajar dari kesalahan .
Sedangkan untuk pihak yang melakukan cancel culture, mereka akan merasa bahwa tindakan cancel culture sebagai cara efektif untuk memberikan efek jera dan sebagai sanksi sosial. Padahal ada beberapa kasus yang menunjukan kalau gerakan ini memiliki efek kebalikan dari apa yang mereka inginkan.
Dampak negatif juga ternyata bisa dirasakan oleh orang atau kelompok yang menyaksikan, menonton, dan mengikuti perkembangan gerakan cancel culture. Misalnya mereka jadi takut dan khawatir kalau orang-orang akan menyerang mereka jika mereka sepenuhnya mengekspresikan diri.
Secara umum cancel culture justru memunculkan lebih banyak efek negatif daripada efek positif. Dalam beberapa kasus, cancel culture bahkan dimanfaatkan untuk membungkam pendapat yang bertentangan, atau pendapat yang populer.
Bagaimana Cancel Culture Berkembang?
Bagi orang-orang tertentu, mereka masih mempertanyakan apakah cancel culture adalah cara yang efektif untuk meminta pertanggungjawaban orang yang dianggap bersalah atau tidak. Terlebih lagi biasanya orang yang dianggap bersalah ini tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk menebus kesalah itu.
Cancel culture sejatinya sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun silam. Di masa lalu, kata "cancel" ini sering digunakan di media sosial sebagai cara seseorang yang tergabung dalam komunitas minoritas dan termarjinalkan untuk menunjukkan ketidaksetujuan atas tindakan orang lain. Baru setelah itu cancel culture berarti memboikot seseorang atau pihak tertentu secara profesional.
Sementara itu, seorang profesor sosiologi dan kriminologi dari Universitas Villanova bernama Jill McCorkel mengatakan kepada The Post, bahwa akar cancel culture telah hadir sepanjang sejarah manusia. Masyarakat telah menghukum orang karena berperilaku di luar norma sosial yang dirasakan selama berabad-abad. Menurutnya cancel culture ini hanyalah varian lain dari sanksi tersebut.
Saat ini cancel culture sudah menjadi gerakan kolektif yang dilakukan di sejumlah negara. Sebut saja seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan. Sebuah survei tahun 2020 yang dilakukan oleh Pew Research Center menunjukan, 58 persen respondennya merasa bahwa cancel culture membantu membuat orang bertanggung jawab atas tindakannya.
Contoh Cancel Culture
Ada banyak sekali skandal atau kasus tertentu yang melibatkan seorang publik figur, politisi, pejabat, dan tokoh lainnya berujung memicu terjadinya cancel culture.
Bagi orang yang mengidolakan aktor dan aktris Korea, pastinya sudah paham betul dengan fenomena cancel culture di negeri gingseng tersebut.
Salah satu contoh cancel culture pernah menimpa Kim Seon-ho, seorang aktor terkenal yang sempat membintangi serial drama Korea (drakor) berjudul Hometown Cha-Cha-Cha. Akibat terjebak dalam skandal aborsi, ratusan ribu penggemarnya berhenti mengikutinya di Instagram dalam beberapa hari. Dia juga ditarik dari variety show populer dan dikeluarkan dari dua proyek film yang akan datang.
Cancel culture memang memiliki dampak positif dan negatif. Akan tetapi, satu hal yang lebih penting dari semua itu adalah tentang bagaimana seseorang menyikapi sebuah skandal yang melibatkan tokoh terkenal. Pemboikotan massal bisa saja efektif sebagai sanksi sosial, namun hal itu juga bisa berlaku sebaliknya.