Memahami Pungli, Penyebab, Perkembangan, dan Dasar Hukum Penindakannya
Istilah pungli merupakan singkatan dari pungutan liar. Pungli adalah tindakan pegawai negeri atau pejabat negara yang menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada masyarakat dengan maksud membantu mempercepat tercapainya tujuan, walau melanggar prosedur.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dijelaskan bahwa pungutan artinya barang yang dipungut. Sedangkan liar artinya sembarangan dan tidak sesuai aturan. Dengan demikian, pungutan liar dapat dimaknai sebagai barang yang diambil dengan cara yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Dr. Syarief Makhya dalam buku Krisis Pemerintahan: Esai Tentang Politik Kebijakan dan Urusan Publik (2019) menjelaskan, pungli adalah upaya yang dilakukan oleh aparat pemerintah untuk meminta imbalan atau uang tambahan di luar biaya resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Biasanya, pungli dilakukan saat sedang melayani masyarakat, seperti saat mengurus perizinan, pembuatan KTP, membuat SIM, dan sebagainya. Tindakan pungli akhirnya menjadi alat untuk mencari penghasilan tambahan di luar gaji yang diterima.
Sebagai upaya pemberantasan pungli, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Pasal 2 dalam aturan tersebut menjelaskan tugas Satgas Saber Pungli adalah melaksanakan pemberantasan pungli secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, bak yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
Pungli termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, yaitu penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dengan memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Penyebab Pungli
Artikel berjudul Pungutan Liar (Pungli) dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi dalam Majalah Paraikatte, Edisi Triwulan III, Volume 26, Tahun 2016, menjelaskan beberapa penyebab pungli, yaitu:
- Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup.
- Penyalahgunaan wewenang, Jabatan atau kewenangan yang ada/melekat pada seseorang.
- Faktor ekonomi. Penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau tidak sebanding dengan tugas/ jabatan yang diemban membuat seseorang terdorong untuk melakukan pungli.
- Faktor kultural dan budaya organisasi, yang terbentuk dan berjalan terus menerus di suatu lembaga agar pungutan liar dan penyuapan, dapat menyebabkan pungutan liar sebagai hal biasa.
- Terbatasnya sumber daya manusia.
- Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh atasan.
Sejarah Pungli
Istilah pungli tidak tercantum secara eksplisit dalam Undang-undang (UU). Pungli merupakan sebutan semua bentuk pungutan yang tidak resmi dan tidak mempunyai landasan hukum. Mengutip Majalah Paraikatte, istilah pungli sudah aja sejak 1977.
Pemberantasan pungli berawal dari pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) oleh Soeharto pada 10 Oktober 1965. Pada 1977, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kaskopkamtib) gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang sasaran utamanya adalah pungutan liar. Akhirnya, istilah pungli dikenal luas.
Penertiban pungli saat itu disebut juga penertiban "usil" alias uang siluman, yaitu uang yang disimpan dalam jangka waktu tertentu untuk dana taktis kantor.
Dasar Hukum Penindakan Pungli
Pungli merupakan salah satu modus korupsi yang diatur dalam Undang-undang (UU) No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan Undang-undang (UU) No. 20 Tahun 2001.
Pasal yang melarang pungli dalam undang-undang tersebut meliputi:
- Pasal 12 huruf e, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
- Pasal 12 huruf f, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
- Pasal 12 huruf g, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
- Pasal 12 huruf h, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Perkembangan Pungli
Hingga saat ini, pungli masih kerap terjadi. Pungli sering digunakan untuk memperlancar proses perusahaan dalam berbagai kegiatan. Studi Kuncoro, dkk tahun 2004 yang diterbitkan Pusat Studi Asia Pasifik UGM menunjukkan masih adanya "grease money" atau uang pelicin dalam bentuk pungli, upeti, dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku, memproses input menjadi output, maupun ekspor.
Tindakan pungli tersebut sangat merugikan ekonomi. Pada tahun 2007, Detik Finance melaporkan bahwa pungli menambah beban ekspor pengusaha di Jabodetabek sedikitnya 3 triliun per tahun. Biaya tersebut berdampak pada biaya ekonomi yang tinggi, sehingga menurunkan daya kompetisi perekonomian Indonesia.
Data Ombudsman Republik Indonesia mencatat bahwa selama tahun 2016, dari 9.077 laporan yang masuk, 972 diantaranya berbentuk permintaan imbalan uang, barang maupun jasa. Sementara pada tahun 2017, dari 8.264 laporan terdapat 617 berupa dugaan permintaan imbalan uang, barang, dan jasa.
Berdirinya Satgas Saber Pungli pada tahun 2016 membantu pemerintah dalam memberantas pungli. Di tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI melaporkan, Satgas Saber Pungli telah menerima sebanyak 37.363 laporan atau aduan masyarakat. Total jumlah pengaduan tersebut terdiri dari 23.542 pengaduan melalui SMS, 6.658 melalui email, 3.313 melalui website, 2.390 melalui call center, 1.120 melalui surat, dan 340 pengaduan langsung.
Adanya pandemi pada tahun 2020 menyebabkan naiknya kasus pungli. Dilansir dari Detik, Sekretaris Saber Pungli Irjen Agung Makbul mengatakan, sektor kesehatan paling rentan pungli selama pandemi COVID-19.
Laporan operasi tangkap tangan (OTT) Satgas Saber Pungli pada periode Agustus 2021 mencapai 947 kasus. Total tersangkanya mencapai 1.142 orang dengan jumlah barang bukti sebanyak Rp 67.764.500.
Bahkan, pungli termasuk modus yang sering digunakan pelaku korupsi, menurut pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW).
ICW melaporkan pelaku korupsi yang paling banyak berasal dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan jumlah 343 kasus, diikuti swasta 215 kasus, dan Kepala Desa 159 kasus.
Cara Memberantas Pungli
Pejabat fungsional auditor (PFA) Perwakilan BPKP Provinsi Sulawesi Selatan, M. Toha Solahuddin, dalam artikelnya menjelaskan sejumlah cara memberantas pungli yaitu:
- Meningkatkan pelayanan publik berupa memangkas waktu pelayanan, memangkas jalur birokrasi, memberlakukan sistem antri (queueing system), dan memasang tarif yang berlaku terkait dengan pembayaran pelayanan secara transparan.
- Mengedukasi masyarakat dalam bentuk kampanye publik untuk tidak memberi tips kepada petugas pelayanan.
- Mengantri dengan tertib untuk mendapatkan pelayanan.
- Kontrol dari atasan langsung yang lebih sering.
- Adanya inspeksi berkala dari pihak atasan.
Pemberantasan pungli tidak dapat dilakukan sepihak saja, perlu adanya integrasi antara masyarakat dan pemerintah untuk mencapai hasil yang optimal. Pencegahan pungli dapat dimulai dengan kesadaran diri untuk tidak memberikan atau meminta pungutan yang tidak resmi dan tidak mempunyai landasan hukum.