Tak Lagi Wajib Jadi Ekstrakurikuler, Ini Sejarah Pramuka di Indonesia

Annisa Fianni Sisma
Oleh Annisa Fianni Sisma - Agung Jatmiko
1 April 2024, 16:20
pramuka
ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.
Ilustrasi, sejumlah siswa melakukan parade pada acara Gelar Senja Pramuka di Lapangan Tegar Beriman, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (14/9/2023).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengeluarkan aturan terbaru yang membuat kegiatan Pramuka tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah.

Ketentuan tersebut, tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Dengan terbitnya aturan baru yang ditetapkan pada 25 Maret 2024, pramuka tidak lagi menjadi kewajiban di sekolah.

Sebelumnya pramuka menjadi salah satu ekstrakurikuler wajib yang harus diambil oleh siswa pendidikan dasar dan pendidikan menengah, sesuai dengan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2014.

Sejarah Pramuka Indonesia

Sejarah Pramuka Indonesia
Lambang Pramuka (pramuka.or.id)

Mengutip dari pramuka.or.id, gerakan pendidikan kepanduan di Indonesia telah ada sejak masa penjajahan Belanda. Pada tahun 1912, kelompok pandu di Batavia mulai menjalani pelatihan, yang kemudian menjadi cabang dari Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO).

Dua tahun setelahnya yakni 1914, cabang tersebut resmi berdiri sendiri dengan nama Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda. Saat itu, mayoritas anggota NIPV adalah pandu keturunan Belanda.

Namun, pada sekitar tahun 1916, dibentuklah organisasi kepanduan yang sepenuhnya terdiri dari pandu bumiputera. Pandu bumiputera ini diprakarsai oleh Mangkunegara VII selaku pemimpin Keraton Solo.

Perkembangan Awal Gerakan Kepanduan di Nusantara

Setelah pandu bumiputera, muncul berbagai organisasi kepanduan berbasis agama, suku dan lainnya, seperti Nationale Padvinderij, Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Kepanduan Bangsa Indonesia, dan Syarikat Islam Afdeling Pandu.

Lalu, Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie, Padvinders Organisatie Pasundan, Pandu Indonesia, Pandu Kesultanan, Kepanduan Asas Katolik Indonesia, Pandu Ansor, El-Hilaal, Al Wathoni, Tri Darma (Kristen), dan Kepanduan Masehi Indonesia.

Organisasi kepanduan di Hindia-Belanda mengalami perkembangan yang sangat baik. Perkembangan yang baik tersebut pun menarik perhatian Lord Baden-Powell, pendiri Gerakan Kepanduan Sedunia.

Bahkan, Powell beserta istri dan anak-anaknya sempat mengunjungi organisasi kepanduan di Batavia, Semarang, dan Surabaya pada awal Desember 1934. Para anggota kepanduan di Hindia-Belanda juga berpartisipasi dalam Jambore Kepanduan Sedunia.

Pada Jambore 1933 di Hungaria, hanya sejumlah delegasi yang hadir untuk menyaksikan kegiatan tersebut. Namun, pada Jambore 1937 di Belanda, Kontingen Pandu Hindia-Belanda yang terdiri dari anggota kepanduan dengan berbagai latar belakang, seperti keturunan Belanda, bumiputera dari Batavia dan Bandung, Pandu dari Mangkunegaran, Ambon, serta beberapa anggota kepanduan dengan keturunan Arab serta Tionghoa ikut berpartisipasi.

Di Indonesia, kegiatan perkemahan dan jambore kepanduan diadakan di berbagai tempat. Salah satunya adalah All Indonesian Jamboree atau "Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem" yang berlangsung dari tanggal 19 hingga 23 Juli 1941 di Yogyakarta.

Pada tanggal 27-29 Desember 1945, diadakan Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta. Kongres ini menghasilkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia.

Namun, saat Belanda melakukan agresi militer pada tahun 1948, muncul larangan bahwa Pandu Rakyat untuk beroperasi di daerah yang telah dikuasai Belanda. Atas hal ini, muncul organisasi lain seperti Pandu Puteri Indonesia (PPI), Kepanduan Putera Indonesia (KPI), dan Kepanduan Indonesia Muda (KIM).

Secara berkelanjutan, kepanduan Indonesia terbagi menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Perkindo (Persatuan Kepanduan Indonesia). Namun, jumlah perkumpulan kepanduan di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah anggotanya.

Bersatunya Gerakan Kepanduan dalam Satu Payung, Pramuka

Gelar senja Pramuka di Kabupaten Bogor
Gelar senja Pramuka di Kabupaten Bogor (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww)

Tak hanya soal jumlah gerakan kepanduan yang banyak, masih ada perasaan golongan yang kuat, yang membuat Perkindo menjadi lemah.

Untuk mencegah hal ini, Presiden Soekarno dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat sebagai Pandu Agung, mengusulkan penggabungan berbagai organisasi kepanduan.

Gagasan penggabungan itu tersebut pertama kali diungkapkan oleh Presiden Soekarno saat ia mengunjungi Perkemahan Besar Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Tangerang, pada awal Oktober 1959. Setelah itu, Presiden juga mengumpulkan tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan di Indonesia.

Seluruh organisasi kepanduan yang ada kemudian digabung menjadi satu dengan nama Pramuka. Untuk menjalankan gerakan Pramuka tersebut, Presiden menunjuk para panitia.

Anggota kepanitiaan tersebut yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Azis Saleh, Muljadi Djojomartono, Prijono, dan Achmadi. Gerakan Pramuka dimulai dengan rangkaian peristiwa yang saling terkait.

Pada 9 Maret 1961, nama Pramuka diresmikan dan momen tersebut menjadi Hari Tunas Gerakan Pramuka. Pada 20 Mei 1961, Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka diterbitkan dan momen itu diperingati sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja.

Pada 20 Juli 1961, wakil-wakil dari organisasi kepanduan Indonesia mengeluarkan pernyataan di Istana Olahraga Senayan untuk bergabung ke Gerakan Pramuka. Oleh karena itu, hari tersebut dikenal sebagai Hari Ikrar Gerakan Pramuka.

Setelah itu, pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka diperkenalkan kepada masyarakat umum melalui sebuah upacara di halaman Istana Negara. Presiden Soekarno menyerahkan Panji Gerakan Pramuka kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Saat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menjabat sebagai Ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono IX meneruskan Panji tersebut kepada barisan defile yang terdiri dari para Pramuka di Jakarta dan mereka membawanya mengelilingi kota.

Tanggal 14 Agustus kemudian ditetapkan sebagai Hari Pramuka yang dirayakan oleh seluruh anggota Pramuka setiap tahunnya.

 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...