10 Tantangan INDEF Bagi Jokowi-Prabowo Di Debat Terakhir Pilpres 2019

Ameidyo Daud Nasution
11 April 2019, 23:00
Pilpres 2019, INDEF, Pertumbuhan Ekonomi
Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Pembawa acara Retno Pinasti (kiri), Capres Joko Widodo, Arief Budiman (ketua KPU) , Capres Prabowo Subianto dan Zulfikar Naghi dalam debat keempat Pilpres 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3). Debat Capres ke-4 di Pilpres 2019 mengusung tema \"Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan, serta Hubungan Internasional.

Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) meminta dua calon presiden dan wakil presiden menyampaikan sepuluh hal dalam debat Pilpres 2019 terakhir hari Sabtu (13/4). Debat terakhir Pilpres 2019 akan bertemakan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, serta Perdagangan dan Industri.

Ekonom Senior INDEF Nawir Messi mengatakan, sepuluh hal ini merupakan permasalahan kritis ekonomi Indonesia dan sangat penting untuk dicarikan jalan keluar dalam debat. Isu pertama adalah, pertumbuhan ekonomi yang berkuantitas dan berkualitas. Nawir mengatakan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak reformasi hanya mencapai 5,27%. Apabila pertumbuhan tak mampu digenjot maka dikhawatirkan Indonesia akan masuk jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Sedangkan, soal kualitas pertumbuhan ekonomi, ia menyorot Jawa yang masih menjadi pulau dengan komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi tertinggi yakni 58,4% porsi pertumbuhan berada di Jawa. "Ini perlu perhatian serius," kata Nawir di Jakarta, Kamis (11/4).

(Baca: Adu Strategi Jokowi vs Prabowo Keluar dari Jebakan Pendapatan Menengah)

Isu kedua adalah, daya saing dalam investasi yang disebutnya masih menjadi tantangan. Nawir mengatakan reformasi yang dilakukan baru mencakup pemerintah pusat saja dan belum ke daerah. Lemahnya daya saing Indonesia terlihat dari peringkat kemudahan berbisnis Indonesia yang hanya peringkat 73, bahkan kalah dari Vietnam yang ada di posisi 69.

Ketiga adalah impor yang masih terus terjadi lantaran produksi pertanian tak sebanding permintaan, ditambah lagi ketergantungan industri terhadap barang produksi dari luar negeri. Nawir bahkan mengatakan kontribusi impor barang konsumsi sudah mencapai 9% dalam tiga tahun belakangan dari 7-8% selama 16 tahun. Hal ini menurutnya jelas menandakan daya saing produk dalam negeri llemah menghadapi produk global.

Isu keempat adalah, frekuensi perdagangan Indonesia yang masih lebih rendah dari negara tetangga. Data INDEF menunjukkan, rasio nilai perdagangan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya 39,5%, kalah dari negara tetangga. Salah satu penyebabnya adalah, minimnya kinerja logistik di mana Logistic Performance Index Indonesia hanya berada di level 3,15 pada tahun 2018. "Jadi masih ada berbagai macam masalah sistem logistik," kata dia.

Isu kelima adalah deindustrialisasi yang terlalu cepat terjadi di Indonesia ketimbang negara Asia Tenggara lainnya. Menurunnya industri Indonesia mengakibatkan minimnya penerimaan pajak dari manufaktur, daya serap tenaga kerja berkurang, hingga pertumbuhan ekonomi yang tak dapat terdongkrak cepat.

Keenam adalah kinerja perpajakan yang berpengaruh terhadap risiko utang luar negeri Indonesia. Saat ini tax ratio Indonesia memang meningkat hingga 11,5% pada tahun 2018, namun hal itu jauh dari target pemerintah yakni 15,2%. Meningkatnya risiko utang ini berbanding terbalik dengan tax ratio yang mencerminkan kemampuan pemerintah semakin turun.

Implikasinya, beban bayar bunga utang belanja pemerintah pusat naik dari 11% tahun 2014 menjadi 17,1% tahun 2018. Resiko utang ini menurut Nawir perlu jadi fokus perhatian pemerintah apabila tidak ingin masuk potensi krisis.

Halaman:
Reporter: Ameidyo Daud Nasution
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...