Komunikasi Krisis Pemerintah Menangani Pandemi Corona Dinilai Buruk
Pemerintah dinilai belum cukup baik dalam menerapkan komunikasi krisis ketika menangani pandemi virus corona atau Covid-19. Sebab, informasi yang disampaikan pemerintah terkait penanganan corona kepada publik belum cukup terbuka.
Pakar komunikasi massa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Gilang Desti Parahita menilai, dukungan data dalam komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah pun masih lemah.
"Padahal, prinsip dasar komunikasi secara umum adalah, pihak lain memahami pesan yang kita sampaikan," kata Gilang dalam diskusi virtual, Selasa (23/6).
Tak hanya itu, pemerintah juga dinilai belum cukup peka terhadap krisis yang terjadi akibat pandemi corona. Hal tersebut, membuat komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah tak mampu menggerakkan masyarakat untuk bisa menerapkan protokol kesehatan.
Sebaliknya, kondisi yang berkembang adalah masyarakat menganggap remeh pandemi corona yang terjadi saat ini.
(Baca: Jubir Covid-19 Minta Istilah Normal Baru Tidak Dipersoalkan)
"Mungkin pemerintah ingin hindari kepanikan, tapi sense of crisis-nya lemah dan ditiru sebagian masyarakat," ujarnya.
Kondisi tersebut diperparah, dengan masih banyaknya media massa yang belum kritis menanggapi kebijakan pemerintah terkait penanganan corona. Sementara, tak semua lapisan masyarakat bisa mengakses berita-berita dari media massa yang sudah cukup kritis.
Gilang menilai, hal ini terjadi karena ada kesenjangan informasi di tengah masyarakat. Sehingga, media yang berhasil mengedukasi hanya di lingkaran masyarakat yang bisa mengakses berita berkualitas.
Atas dasar itu, ia meminta agar pemerintah dapat memperbaiki komunikasi krisis dalam penanganan pandemi corona. Masyarakat pun diminta bersatu, dan memberikan masukkan terhadap pemerintah terkait penanganan corona.
"Media massa harus bisa lebih kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, dan harus berperan sebagai watchdog," katanya.
(Baca: Uji 17.908 Spesimen Sehari, Kasus Corona RI Bertambah 1.051 Orang)