Mengapa Wajib Rapid Test untuk Penumpang Pesawat Perlu Dicabut?
Pemerintah diminta mencabut aturan kewajiban test cepat atau rapid test sebagai syarat melakukan perjalanan dengan moda transportasi udara. Alasannya, pesawat cenderung lebih aman dari potensi penularan virus corona atau Covid-19 dibandingkan moda transportasi lain.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan hingga saat ini pihaknya belum menemukan data baik dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan dan otoritas bandara mengenai pesawat terbang komersial menjadi klaster penyebaran virus corona.
"Sebaiknya syarat rapid test hanya diberlakukan pada penerbangan dengan rute-rute internasional, karena negara lain tidak memberlakukannya untuk rute dalam negeri," kata Alvin dalam sebuah forum diskusi, Jumat (14/8).
Menurutnya potensi penularan virus pada pesawat terbang komersial telah diminimalisir, melalui teknologi high efficiency particulate air atau Hepa Filter. Teknologi ini membantu membersihkan sirkulasi udara di dalam kabin pesawat, untuk mematikan bakteri-bakteri dan virus.
Oleh karena itu, dalam transportasi udara yang perlu dilakukan adalah memastikan setiap penumpang dan awak kabin menjalankan protokol kesehatan dengan ketat. Pasalnya, kualitas udara di pesawat jauh lebih aman dibandingkan bus atau kereta api.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association atau INACA Denon B. Prawiraatmadja. Ia menjelaskan pesawat terbang merupakan moda transportasi yang paling aman dari penyebaran virus.
Menurutnya sejak wabah Covid-19 merebak di hampir seluruh negara pada awal tahun, hanya ada temuan tiga kasus pada penerbangan di seluruh dunia. Temuan kasus ini ia nilai tidak bisa dijadikan dasar asumsi ada penularan Covid-19 di pesawat maupun bandara.
"Hal yang terpenting dalam penerbangan untuk menekan risiko penularan yakni melalui penerapan protokol kesehatan yang ketat," ujar Denon.
Ia pun meminta agar pemerintah menghapuskan syarat rapid test bagi penumpang pesawat, untuk menyelamatkan industri penerbangan dan memberikan kepercayaan bagi penumpang.
Sebagai informasi, industri penerbangan merupakan salah satu sektor yang menderita kerugian terbesar akibat pandemi corona. Asosiasi Transportasi Udara Internasional atau International Air Transport Association (IATA) memproyeksi kerugian yang dialami maskapai penerbangan global tahun ini mencapai US$ 84 miliar.
Pasalnya, hingga kini masih banyak armada pesawat dari maskapai penerbangan global yang terparkir sehingga kinerja pendapatan pun akan menurun tajam dibandingkan 2019. IATA memprediksi pendapatan maskapai penerbangan global tahun ini turun menjadi US$ 419 miliar.
"Pemulihan pun tidak akan bisa cepat, dengan perkiraan tahun depan sektor penerbangan global masih mencatatkan kerugian US$ 15,8 miliar," kata Direktur Jenderal IATA Alexandre de Juniac, dilansir dari Reuters, Selasa (9/6).