Antisipasi Kebakaran Hutan, KLHK Modifikasi Cuaca hingga Awal 2021
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bakal melakukan modifikasi cuaca hingga awal 2021, untuk mengantisipasi risiko kebakaran hutan dan lahan yang selalu terjadi saat musim kemarau. Upaya ini diambil lantaran KLHK memperkirakan musim kemarau bakal berlangsung hingga Januari-Februari 2021.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan musim kemarau yang panjang otomatis meningkatkan potensi kebakaran hutan, sehingga diperlukan langkah antisipasi sejak dini untuk menanganinya. Oleh karena itu, pihaknya akan memanfaatkan teknologi dengan memodifikasi cuaca untuk menangkal risiko kebakaran hutan.
"Modifikasi cuaca untuk mengantisipasi kebakaran hutan ini perlu kami teruskan sambil melihat kondisi sampai tidak perlu dilakukan," kata Situ Nurbaya dalam siaran pers, Kamis (27/8).
Untuk melakukan modifikasi cuaca KLHK bakal bekerja sama dengan beberapa instansi seperti Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan TNI Angkatan Udara. Pakar iklim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) juga akan mengembangkan teori dan teknologi yang mendukung pencegahan kebakaran hutan.
Direktur Jenderal Pengandalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Ruandha Agung Sugardiman menjelaskan operasi modifikasi cuaca yang dilakukan dalam beberapa bulan terakhir berhasil menurunkan jumlah titik panas atau hotspot. Hasil pemantauan dalam satu bulan terakhir menunjukkan ada penurunan titik panas di beberapa provinsi yakni Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan.
"Sementara di Kalimantan Barat, sempat muncul beberapa titik panas pada 13 Agustus 2020 yang segera diatasi dengan operasi modifikasi cuaca untuk mencegah potensi asap lintas batas," kata Ruandha.
Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menyampaikan bahwa sampai Agustus 2020 sebanyak 85% daerah zona musim telah memasuki masa kemarau dan telah mengalami hari tanpa hujan (HTH) berturut-turut bervariasi antara 21-30 hari, 31-60 hari dan di atas 60 hari. Berdasarkan lama HTH dan potensi hujan rendah hingga pertengahan September 2020, sejumlah wilayah memerlukan perhatian peringatan dini kekeringan pada level Waspada, Siaga dan Awas.
Beberapa wilayah tersebut antara lain Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua.
Sedangkan berdasarkan tingkat kemudahan terbakar lapisan di atas permukaan, untuk periode 25-27 Agustus 2020 risiko kebakaran hutan diprediksi terjadi di sebagian Jambi, Sumatera Selatan, sebagian Lampung, sebagian besar Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Selatan Sulawesi Selatan dan Papua bagian selatan.
"Sebagian daerah yang telah masuk musim kemarau tahun ini telah mengalami HTH di atas 21 hari, sehingga perlu mewaspadai potensi kekeringan meteorologis," ujar Herizal.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengatakan enam provinsi yang berpotensi mengalami kebakaran hutan antara lain Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Data ini didapatkan dari analisis jejak kebakaran yang terjadi dalam lima tahun terakhir. “Sudah berlangsung lebih dari 30 tahun dan selalu berulang ketika musim kemarau tiba," kata Teguh dalam webinar Katadata Forum 'Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi' di Jakarta, Kamis (13/8).
Selama ini kebakaran hutan yang kerap terjadi berada pada lahan gambut sehingga sulit dipadamkan, sebab titik api tidak terlihat dan kedalamannya bisa mencapai puluhan meter dari permukaan tanah.
Bank Dunia melaporkan total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun lalu mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.