Sejarah Penerapan THR di Indonesia, Berawal dari Pinjaman Lebaran

Image title
20 Maret 2024, 15:05
THR
ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Pekerja menunjukkan uang tunjangan hari raya atau THR yang diterimanya di pabrik rokok PT Djarum, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (29/4/2021).
Button AI Summarize

Menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, pembicaraan mengenai tunjangan hari raya atau THR menjadi topik hangat, baik di media massa maupun media sosial. Pasalnya, pendapatan non-upah untuk para pekerja ini menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.

Pemerintah baru-baru ini telah resmi mengeluarkan aturan tentang pembayaran THR Lebaran 2024, melalui Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Sesuai aturan tersebut, tunjangan hari raya harus diberikan ke semua pekerja/buruh.

Dalam ketentuan, pemerintah menetapkan bahwa pembayaran THR wajib dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri atau di pekan-pekan terakhir bulan Ramadan.

Namun, apakah keberadaan tunjangan hari raya sebagai pendapatan non-upah untuk pekerja di Indonesia ini telah ada sejak dulu, dan siapakah penggagasnya? Simak ulasan singkat berikut.

Sejarah Penerapan THR di Indonesia

PEMBAGIAN THR PEKERJA PABRIK KAIN SARUNG
Pembagian tunjangan hari raya atau THR (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/aww)

Sebenarnya, dunia kerja Indonesia belum mengenal adanya tunjangan atau upah tambahan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, pada 1952, Perdana Menteri ke-6 Republik Indonesia Soekiman Wirjosandjojo menggagas program pemberian persekot untuk pegawai negeri sipil (PNS), yang saat itu masih dinamakan pamong praja.

Soekiman berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia selama era Demokrasi Liberal. Meski kabinetnya berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi para pegawai pemerintah, termasuk persekot lebaran ini. Tujuannya, agar para pegawai pemerintah mendukung kebijakan dan program-program pemerintah.

Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.

Kebijakan pemberian persekot lebaran terus dilakukan pasca-Kabinet Soekiman. Bahkan, pada masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia Ali Sastroamidjojo, kebijakan persekot lebaran diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.

Besaran uang yang diterima pun bervariasi, yakni Rp 125 hingga Rp 200 per orang, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Namun, sesuai sasarannya, pemberian persekot ini hanya berlaku bagi PNS, bukan pekerja swasta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kebijakan ini mendapat banyak kritik, terutama dari kaum buruh. Pasalnya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.

Munculnya Hadiah Lebaran sebagai Cikal Bakal THR

Seperti yang telah dijelaskan, kemunculan konsep THR awalnya adalah berbentuk persekot dan hanya diberikan kepada PNS. Pemberian yang dibatasi pada PNS ini menimbulkan protes, terutama dari kaum buruh.

Mengutip www.spkep-spsi.org, tuntutan agar penerima persekot lebaran diperluas tidak hanya di kalangan PNS semakin meningkat. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan mogok kerja, sebagai protes dan menuntut agar pemerintah memperluas subjek pemberian persekot lebaran ini.

Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Awalnya, pemerintah saat itu tidak mengabulkan tuntutan para pekerja/buruh. Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pemberian persekot lebaran diperluas.

Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah "Hadiah Lebaran". Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan SE Nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE tersebut, pemerintah mengimbau perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar satu per dua belas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.

Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan "Hadiah Lebaran" bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...