Tak Ingin Blokir Internet Terulang, Kominfo Andalkan Literasi Digital
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengatakan, akan menghindari langkah pemblokiran internet untuk menangkal berita bohong atau hoaks. Penanganan hoaks ke depan akan menitikberatkan literasi digital.
"Kalau bisa, blokir (internet) itu tidak perlu terjadi. Jadi, kami akan lebih memaksimalkan literasi digital," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo Samuel Abrijani Pangerapan dalam acara diskusi daring, Selasa (23/6).
Ia menjelaskan, tidak mungkin pencegahan atau menangkal hoaks dilakukan sendirian pihak Kementerian Kominfo. Melainkan, dilakukan bersama-sama dengan pihak ketiga, melalui cek fakta atau verifikasi.
Sebelum dugaan hoaks masuk ke Kementerian Kominfo, ia ingin agar masyarakat ikut berperan. Menurutnya, yang memegang kontrol adalah masyarakat, sehingga bisa memberi koreksi terhadap informasi-informasi yang bertebaran di dunia maya.
Dengan begitu, menurutnya perlu ada perubahan pendekatan yang dilakukan kementerian dalam menangkal hoaks, yakni dengan memberikan pemahaman digital pada masyarakat.
(Baca: Kerugian Blokir Internet Capai Triliunan Rupiah)
Oleh karena itu, literasi digital perlu didorong sampai menyentuh level paling bawah. Hal ini penting, karena sebelum mencari informasi secara daring, masyarakat perlu memiliki kesadaran sebagai pengguna.
Melalui program literasi digital, Kementerian Kominfo menargetkan pada 2021 sedikitnya 12,5 juta orang terliterasi digital. Kemudian, pada 2040 targetnya ada 50 juta orang memiliki tingkat literasi digital yang baik.
Plt Direktur Pemberdayaan Informatika Ditjen Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Slamet Santoso mengatakan, kebijakan pemblokiran internet di Papua untuk membendung hoaks merupakan pembelajaran.
"Ini pembelajaran, bahwa kami memang perlu membenahi sistem pengendalian konten di masyarakat, supaya tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).
Seperti diketahui, pemerintah memblokir akses internet terhadap 29 kota/kabupaten di Provinsi Papua dan 13 kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat pada 19-20 Agustus 2019. Pemerintah kemudian melanjutkan pemutusan akses internet pada 21 Agustus hingga 4 September 2019, dan melakukan perpanjangan pemblokiran dari 4-11 September 2019.
(Baca: Dewan Pers Imbau Profesionalisme Media soal Putusan Blokir Internet)
Langkah itu ditempuh dengan dalih untuk meminimalkan penyebaran hoaks selama kerusuhan Papua. Saat itu, Kementerian Kominfo yang dipimpin Rudiantara mengklaim menemukan 33 hoaks dan 849 lokator sumber seragam alamat digital atau uniform resource locator (URL), yang memuat konten provokatif terkait Papua.
Atas tindakan pemerintah itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam kemudian melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Hasilnya, Hakim PTUN memutuskan Presiden Joko Widodo dan Menteri Komunikasi dan Informatika telah melanggar hukum karena memblokir akses internet di Papua dan Papua Barat pada tahun lalu.
"Terkait tindakan pemerintah, tergugat satu dan tergugat dua dinyatakan perbuatan melanggar hukum," kata Hakim PTUN, Rabu, (3/6).
Menurut Hakim PTUN, pemblokiran akses internet membuat aktivitas masyarakat jadi terganggu. Selain itu, tindakan pemerintah dilakukan saat kondisi negara belum dinyatakan bahaya.
(Baca: Blokir Internet Papua, Jokowi dan Menkominfo Divonis Melanggar Hukum)