Sejarah THR di Indonesia, Berawal dari Persekot

Image title
13 April 2022, 18:02
tunjangan, Tunjangan Hari Raya, THR
ANTARA FOTO/Fauzan/foc.
Ilustrasi, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah (kedua kiri) didampingi Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar (kiri) berdialog dengan buruh saat meninjau Posko Pengaduan Tunjangan Hari Raya (THR) Kabupaten Tangerang, Banten.

Menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran, pembicaraan mengenai Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi topik hangat, baik di media massa maupun media sosial. Pasalnya, pendapatan non-upah untuk para pekerja ini menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu.

Pemerintah baru-baru ini telah resmi mengeluarkan aturan tentang pembayaran THR Lebaran 2022. Sesuai aturan tersebut, THR harus diberikan ke semua pekerja/buruh. Dalam ketentuan, pemerintah juga menetapkan bahwa THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Idul Fitri atau di pekan-pekan terakhir bulan Ramadan.

Advertisement

Namun, apakah keberadaan THR sebagai pendapatan non-upah untuk pekerja di Indonesia ini telah ada sejak dulu, dan siapakah penggagasnya? Simak ulasan singkat berikut.

Awal Kemunculan THR

Sebenarnya, dunia kerja Indonesia belum mengenal adanya tunjangan atau upah tambahan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, pada 1952, Perdana Menteri Indonesia ke-6 Soekiman Wirjosandjojo menggagas program pemberian persekot untuk pegawai negeri sipil (PNS), yang saat itu masih dinamakan pamong praja.

Soekiman sendiri berasal dari Partai Masyumi, yang merupakan partai politik Islam terbesar di Indonesia selama era Demokrasi Liberal. Meski Kabinet Soekiman ini berumur pendek, yakni hanya satu tahun (1951-1952), ia mewariskan beberapa beberapa program kesejahteraan bagi PNS, termasuk persekot lebaran ini. Tujuannya, agar para PNS mendukung kebijakan dan program-program pemerintah.

Awalnya, konsep THR untuk PNS ini berbentuk persekot atau pinjaman di muka. Nantinya, para PNS tersebut harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji.

Kebijakan pemberian persekot lebaran ini terus dilakukan pasca-Kabinet Soekiman. Bahkan, pada masa Perdana Menteri ke-8 Indonesia Ali Sastroamidjojo, kebijakan persekot lebaran diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.

Besaran uang yang diterima pun bervariasi, yakni Rp 125 hingga Rp 200 per orang, dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Namun, sesuai sasarannya, pemberian persekot ini hanya berlaku bagi PNS, bukan pekerja swasta. Oleh karena itu, dalam perjalannya kebijakan ini mendapat banyak kritik, terutama dari kaum buruh. Pasalnya, pemberian THR hanya kepada PNS dinilai sebagai kebijakan yang tidak adil.

Munculnya Hadiah Lebaran Sebagai Cikal Bakal THR

Seperti yang telah dijelaskan, kemunculan konsep THR awalnya adalah berbentuk persekot dan hanya diberikan kepada PNS. Pemberian yang dibatasi pada PNS ini menimbulkan protes, terutama dari kaum buruh.

Mengutip www.spkep-spsi.org, tuntutan agar penerima persekot lebaran diperluas tidak hanya di kalangan PNS semakin meningkat. Bahkan, pada 13 Februari 1952 para buruh melakukan mogok kerja, sebagai protes dan menuntut agar pemerintah memperluas subjek pemberian persekot lebaran ini.

Sepanjang periode 1951-1952, tercatat terjadi 88 pemogokan buruh dan kebanyakan pemogokan itu terjadi di masa-masa menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Awalnya, pemerintah saat itu tidak mengabulkan tuntutan para pekerja/buruh. Namun, selama dua tahun salah satu organisasi buruh terbesar saat itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) gencar menyerukan kritik dan tuntutan, agar pemberian persekot lebaran diperluas.

Perjuangan kaum pekerja/buruh ini akhirnya membuahkan hasil dan memunculkan istilah "Hadiah Lebaran". Pada 1954, Menteri Perburuhan Indonesia S.M. Abidin mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3676/54 mengenai Hadiah Lebaran. Dalam SE ini, dikatakan setiap perusahaan memberikan “Hadiah Lebaran” untuk buruh sebesar seperduabelas dari upah, sekurang-kurangnya Rp 50 dan sebesar-besarnya Rp 300.

Akan tetapi, karena hanya berupa imbauan, surat edaran ini belum memberi jaminan "Hadiah Lebaran" bagi pekerja/buruh. Oleh karena itu, para buruh, yang dipimpin SOBSI terus menyuarakan tuntutan kepada pemerintah.

Tuntutan para buruh terkait "Hadiah Lebaran" sebagai hal yang wajib baru didengar pemerintah pada era Demokrasi Terpimpin, saat Menteri Perburuhan dijabat oleh Ahem Erningpraja.

Halaman:
News Alert

Dapatkan informasi terkini dan terpercaya seputar ekonomi, bisnis, data, politik, dan lain-lain, langsung lewat email Anda.

Dengan mendaftar, Anda menyetujui Kebijakan Privasi kami. Anda bisa berhenti berlangganan (Unsubscribe) newsletter kapan saja, melalui halaman kontak kami.

Artikel Terkait

Advertisement