Sejarah Perdagangan Opium di Nusantara, Sempat Topang Keuangan Negara

Image title
16 Januari 2024, 15:55
opium
ANTARA FOTO/REUTERS/Pascal Rossignol/rwa/sad.
Ilustrasi, ladang opium di Villers-Plouich, Prancis. Opium atau candu memiliki peran penting menopang keuangan negara saat Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Melalui perdagangan dan penyelundupan candu, pemerintah RI dapat memperoleh dana untuk membayar gaji pegawai, membiayai perwakilan di luar negeri dan membeli senjata.
Button AI Summarize

Opium atau candu, pernah menjadi suatu komoditas penting di Nusantara. Bahkan, keberadaannya memegang peranan penting dalam menopang keuangan negara di awal-awal berdirinya Republik Indonesia.

Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pengelolaan keuangan negara sama sekali belum optimal. Indonesia saat itu merupakan negara yang baru berdiri, di atas kondisi sosial, ekonomi, dan keuangan yang porak-poranda akibat pendudukan militer Jepang.

Kondisi chaos tersebut, diperparah dengan kedatangan Belanda yang membonceng sekutu, untuk merebut kembali bekas koloninya yang lepas ke tangan Jepang pada Perang Pasifik. Akibatnya, pemerintah Indonesia saat itu harus memutar akal mencari sumber-sumber pendapatan.

Pemerintah Indonesia menyadari, bahwa sumber-sumber ekonomi dalam sektor pertanian dan perkebunan tidak dapat diandalkan karena sebagian besar pabrik-pabrik pengolah hasil perkebunan hancur. Pajak pun tidak bisa menjadi penopang keuangan negara, karena kondisi ekonomi penduduk Indonesia yang masih "berantakan" akibat pendudukan Jepang.

Menyingkapi hal ini, pemerintah Indonesia kemudian mengalihkan pandangan ke satu komoditas yang bisa diperdagangkan atau diselundupkan ke luar negeri, yakni opium, yang kerap disebut sebagai candu.

Opium
Opium (NBC News)

Sejarah Masuknya Opium di Nusantara

Opium atau candu bukanlah komoditas baru di Nusantara. Pasalnya, pedagang-pedagang dari Arab sudah menjadi pemasok opium, bahkan sebelum Belanda datang.

Pada akhir abad ke-17, saat Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara, opium telah menjadi komoditi penting dalam perdagangan regional. Dalam usahanya mendominasi perdagangan candu selama abad-abad berikutnya, para saudagar asal Belanda bersaing dengan Inggris, Denmark, dan Arab.

Pada 1677, akhirnya perusahaan dagang Hindia Timur atau vereenigde oostindische compagnie (VOC) berhasil membuat perjanjian dengan Amangkurat II. Isi perjanjian tersebut, intinya menjamin diberikannya monopoli kepada VOC untuk mengimpor opium ke dalam wilayah Mataram, serta izin monopoli peredarannya.

Sejak perjanjian ini hingga 1799, VOC membawa rata-rata 56.000 kilogram (kg) opium ke Pulau Jawa setiap tahunnya. Pada akhir abad ke-19, peredarannya semakin meluas di Pulau Jawa, terutama di daerah pesisir utara dengan kota-kota pelabuhan serta daerah Surakarta dan Yogyakarta yang padat penduduknya.

Dalam penelitian berjudul "Candu dan Militer: Keterlibatan Badan-Badan Perjuangan dalam Perdagangan Candu di Jawa pada Masa Revolusi" yang dimuat dalam Jurnal Kawistara, Edisi 21 April 2016, karya Julianto Ibrahim, disebutkan ada lebih dari 372 tempat-tempat terpisah di Yogyakarta dan Surakarta yang menerima lisensi untuk menjual opium atau candu.

Seiring dengan kekuasaan yang semakin besar, dan permintaan opium di Jawa yang semakin meningkat, maka pemerintah Belanda memberikan izin pembukaaan bandar-bandar opium di kota-kota besar di pulau Jawa. Kepemilikan bandar-bandar tersebut, dilakukan melalui lelang yang biasanya dihadiri dan dipimpin langsung oleh seorang residen.

Sistem bandar ini kemudian berubah menjadi regi opium pada 1894. Pelaksanaan regi opium memungkinkan pengelolaan candu yang lebih besar oleh pemerintah Hindia Belanda, dimana pemerintah mempunyai kekuasaan untuk memproduksi dan mendistribusikan opium kepada outlet-outlet grosir. Kemudian, memberikan lisensi kepada agen-agen lokal untuk melayani perdagangan eceran.

Sistem ini bertahan hingga berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda, dan kemudian dijadikan model pengelolaan opium oleh pemerintah Indonesia selama masa Revolusi Kemerdekaan.

Ladang Opium
Ladang Opium (M35 Photography/Lindsey Harris)

Peran Opium di Masa Revolusi Kemerdekaan

Seperti disebutkan sebelumnya, opium atau candu menjadi salah satu komoditas penting yang menopang keuangan Republik Indonesia (RI) selama masa Revolusi Kemerdekaan. Hal ini terlihat dari peran badan yang khusus mengelola komoditas ini dalam struktur organisasi Kementerian Keuangan.

Mengutip buku "Sejarah Organisasi Kementerian Keuangan", pada masa kepemimpinan Menteri Keuangan A.A. Maramis, dibentuk Pejabatan Resi Candu dan Garam, yang saat itu dipimin oleh Moekarto Notowidadgo, yang memiliki pengalaman di bidang manajemen opium dan garam (ambtenaar opium en zoutregie) pada masa kolonial Hindia Belanda.

Badan khusus yang mengelola opium ini kemudian berubah menjadi Jawatan Resi dan Candu, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 1948, yang mengatur kembali susunan Departemen Keuangan dan mengubah nomenklatur pejabatan menjadi Jawatan. Keberadaan Jawatan Resi dan Candu ini terus bertahan dalam struktur Kementerian Keuangan (saat itu bernama Departemen Keuangan) hingga 1959.

1. Pembentukan Kantor-kantor Urusan Opium

Setelah Pejabatan Resi Candu dan Garam terbentuk, pemerintah mulai membentuk kantor-kantor yang mengurusi opium beberapa daerah di Pulau Jawa. Misalnya, Kantor Candu dan Obat di Yogyakarta, Kantor Candu dan Garam di Kediri, serta kantor-kantor candu lainnya.

Kantor-kantor candu ini tidak saja mengelola kebutuhan opium untuk rumah-rumah sakit, dan untuk kepentingan ritual keraton. Melainkan, juga melakukan usaha-usaha rahasia bersama dengan Kementerian Pertahanan, dengan menyediakan untuk diperdagangkan oleh badan-badan perjuangan untuk memperoleh dana revolusi.

Faktor pendorong pemerintah memilih opium sebagai salah satu sumber dana perjuangan adalah, karena kondisi sosial, ekonomi, dan keuangan yang porak poranda akibat pendudukan militer Jepang.

Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sumber-sumber ekonomi di sektor pertanian, dan perkebunan tidak dapat diandalkan karena sebagian besar pabrik-pabrik pengolahan hasil perkebunan hancur akibat pendudukan Jepang. Selain itu, hasil-hasil pertanian telah banyak terkuras untuk kepentingan penyediaan logistik perang tentara Jepang.

Cadangan hasil pertanian atau perkebunan yang masih baik pun, sulit dijual oleh pemerintah ke luar negeri, karena blokade yang dilakukan oleh Belanda dalam usahanya merebut kembali koloninya.

Perdagangan opium ini merupakan usulan A.A. Maramis yang kemudian disetujui oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta. Tujuan perdagangan candu ini adalah, untuk membayar gaji pegawai pemerintah.

Selain itu, penjualan candu juga untuk membentuk dana devisa untuk membiayai pegawai perwakilan pemerintah Republik Indonesia di Singapura, Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London dan New York.

Ladang Opium
Ladang Opium (Pixels/Andrew Ray)

2. Pengelolaan Opium di Masa Revolusi Kemerdekaan

Seperti telah dijelaskan, kesulitan-kesulitan yang dialami di awal kemerdekaan membuat pemerintah Indonesia kesulitan untuk membayar gaji pegawai, membiayai perwakilan di luar negeri dan membeli senjata untuk kepentingan perjuangan.

Untuk mengatasi masalah dana perjuangan tersebut, pemerintah secara diam-diam menggunakan opium, yang dianggap dapat segera menyediaan dana secara cepat untuk kebutuhan perjuangan.

Hal itu terlihat dari beberapa surat permintaan dari Kementerian Keuangan, kepada Kementerian Pertahanan atau Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar membantu memperdagangkan candu untuk dana perjuangan.

Mengutip historia.id, dalam Djogdja Documenten Nomor 230, milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada beberapa surat resmi yang menyebutkan soal perdagangan opium. Salah satunya surat dari A.A. Maramis kepada Kepala Polri R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo.

Secara gamblang, ia meminta kepolisian membantu bisnis opium, yang akan digunakan untuk membiayai delegasi Indonesia ke luar negeri, membiayai para pejabat dan menggaji pegawai.

Untuk memperlancar pengelolaan dan perdagangan opium, pemerintah membentuk kantor-kantor regi candu di beberapa kota yang dianggap strategis. Kantor-kantor candu yang dianggap besar adalah Kantor Regi Candu dan Garam di Kediri, Kantor Besar Regi Candu dan Garam di Surakarta, dan Kantor Depot Regi Candu dan Obat di Yogyakarta.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...