Mengenal Frans Seda, Putra Flores yang Membenahi Keuangan Indonesia

Image title
19 Juli 2022, 08:00
keuangan, Menteri Keuangan, Frans Seda
Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia
Ilustrasi, Drs. Fransiscus Xaverius Seda atau Frans Seda, ketika menjabat sebagai Menteri Perhubungan meresmikan Jembatan Kali Keruk di Bumiayu, Brebes, Jawa Tengah.

Di penghujung pemerintahan Orde Lama, kondisi ekonomi Indonesia berada dalam kondisi chaos. Pada dekade 1960-an, kondisi perekonomian diwarnai dengan inflasi yang membumbung tinggi, dan melebarnya defisit anggaran akibat keuangan negara tidak terencana dengan baik.

Memasuki pertengahan 1966, Indonesia masuk kategori negara yang mengalami hiperinflasi, dengan tingkat inflasi tercatat mencapai 650%. Kondisi tersebut telah didahului dengan stagnasi perekonomian. Boleh dibilang, kondisi perekonomian Indonesia saat itu adalah yang terburuk sepanjang masa.

Dalam situasi tersebut, muncul sosok yang diberi mandat untuk menstabilkan perekonomian. Sosok tersebut adalah Frans Seda, yang menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Ampera I dan II, yakni pada 1966 hingga 1968.

Meski hanya menjabat selama dua tahun, kiprah Frans Seda dalam pembenahan keuangan negara sangat terasa. Ia berhasil menurunkan inflasi secara drastis, melakukan pembenahan organisasi Kementerian Keuangan, dan mencanangkan sistem anggaran berimbang dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Masa Muda dan Kiprah Politik Frans Seda

Franciscus Xaverius Seda, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Frans Seda, lahir di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 4 Oktober 1926.

Ia menempuh pendidikan di Kolese Xaverius Muntilan dan Hollandsche Burgerschool (HBS) di Surabaya. Sementara, Gelar sarjana ekonomi diraih dari Katolieke Economische Hogeschool, Tilburg, Belanda pada 1956.

Sebelumnya, pada masa perjuangan kemerdekaan, ia aktif sebagai anggota laskar Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), dan anggota Batalyon Paraja/Laskar Rakyat GRISK/TNI Masyarakat pada periode 1945-1950.

Ia juga merupakan anggota Markas Besar Biro Perjuangan di Yogyakarta yang dikirim ke Flores dan Surabaya. Kemudian, ia juga pernah menduduki posisi sebagai Ketua Pemuda Indonesia di Surabaya, anggota Panitia Pembubaran Negara Jawa Timur dan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) Jawa Timur.

Frans Seda mampu menduduki berbagai posisi yang strategis berkat keahliannya dalam bidang ekonomi, serta kepiawaiannya dalam berorganisasi. Pengalaman organisasi ini ia dapatkan saat menjadi anggota Panitia Kongres Pemuda di Surabaya, anggota Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia  di Yogyakarta (1949-1950).

Selain itu, ia juga merupakan anggota Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda, dan pendiri/pengurus Ikatan Mahasiswa Katolik Indonesia (IMKI) di Belanda (1950-1956).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, di bawah Presiden Soekarno, Frans Seda juga menjadi tokoh yang diperhitungkan. Ini terbukti dari beberapa posisi strategis yang ia emban, seperti Menteri Perkebunan (1964-1966), dan Menteri Pertanian pada 1966.

Sebagai informasi, Frans Seda baru berusia 38 tahun saat didapuk sebagai Menteri Perkebunan. Ini membuktikan, bahwa di usianya yang masih muda, Frans Seda sudah menjadi sosok yang penting bagi pemerintahan.

Melawan Hiperinflasi dan Menstabilkan Ekonomi

Perjalanan Frans Seda di Kementerian Keuangan dimulai sejak diangkat ia menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Ampera I. Ia ditunjuk padapada 28 Juli 1966, di bawah kepemimpinan Pejabat Presiden saat itu, yakni Soeharto.

Saat ia menjabat sebagai Menteri Keuangan, Indonesia menghadapi keadaan ekonomi dengan inflasi 650%. Dengan kondisi ekonomi yang seperti itu, Frans Seda, sebagai Menteri Keuangan diandalkan untuk memutar haluan kebijakan pembangunan nasional.

Awal periode 1960-an merupakan masa-masa kemunduran ekonomi Indonesia. Era ini dimulai dengan inflasi yang masih melonjak tinggi. Pada saat yang sama, defisit anggaran semakin lebar.

Defisit ini ditangani dengan mencetak uang, sebuah kebijakan yang justru memperburuk kondisi ekonomi. Indonesia juga dibelit utang yang cukup besar. Cadangan devisa bahkan tak cukup untuk untuk memenuhi kebutuhan impor.

Salah satu penyebab besarnya defisit APBN adalah pengeluaran yang sangat besar, terutama untuk program-program politik. Beberapa pos yang merupakan prioritas politik, dan menelan dana sangat besar adalah untuk operasi keamanan, operasi di Irian Barat dan Malaysia.

Pada 1965, defisit APBN melonjak mencapai Rp 985,5 miliar atau 40% dari total anggaran pemerintah. Padahal setahun sebelumnya, besarannya hanya ada di kisaran Rp 116,4 miliar.

Buruknya, defisit itu ditutup dengan cara yang salah, yakni dengan mencetak uang. Tahun 1965, jumlah uang beredar melonjak tajam menjadi Rp 2,713 triliun atau 4,2 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada kuartal I-1965 saja, jumlah uang beredar sudah melonjak hingga Rp 5,317 triliun.

Menghadapi kondisi tersebut, Frans Seda segera melakukan pembenahan anggaran, di mana sebelumnya praktis segala urusan negara dilakukan tanpa perencanaan anggaran yang matang.

Secara umum, kebijakan yang dilakukan untuk melakukan stabilitas ekonomi adalah dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal asing masuk.

Di bidang anggaran, adalah Frans Seda yang mencanangkan konsep anggaran berimbang. Saat menyusun anggaran 1967, ia menyusun anggaran di mana pendapatan diproyeksikan sebesar Rp 81,3 miliar. Anggaran ini disesuaikan dengan pengeluaran. Saat ia menjabat pula, mulai dikenal adanya pengeluaran "rutin" dan "pembangunan".

Untuk menekan hiperinflasi, Frans Seda juga menaikkan harga bahan bakar, dari Rp 4 menjadi Rp 16 per liter. Kebijakan ini termasuk salah satu kebijakan yang tidak populer, dan menuai protes. Namun, ia bersama tim ekonominya tidak gentar dan tetap pada rencana demi menstabilkan ekonomi Indonesia.

Dalam menjalanklan tugas sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda mengelilingi dirinya dengan para ahli ekonomi. Misalnya, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, dan Prof. Dr. Mohammad Sadli, serta para ekonom muda, seperti Emil Salim.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...