Menilik Sejarah Panjang Pengembangan Biodiesel Indonesia

Image title
2 Februari 2023, 15:33
biodiesel, B30, B35
123RF.com/Sergey Galushko
Ilustrasi, biofuel.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) telah menyelesaikan rangkaian uji coba Biodiesel 35 atau B35, dan mulai diimplementasikan secara nasional mulai 1 Februari 2023.

Pemerintah optimis bahwa program mandatori B35 dapat menuai respon positif seperti program pendahulunya yaitu B30. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan B35 dapat mengurangi impor solar dan diproyeksikan dapat menghemat devisa hingga Rp 161,25 triliun, juga turut mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 34,9 juta ton CO2e.

Meski tersemat harapan, kemunculan mandatori biodiesel B35 tidak luput dari kontroversi. Tudingan yang cukup keras terkait mandatori biodiesel ini dilontarkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan.

Menurutnya, program mandatori biodiesel B35 menjadi salah satu penyebab minyak goreng subsidi, yakni Minyakita, menjadi langka di pasar tradisional dan dijual dengan harga tinggi. Zulkifli menjelaskan, pasokan Minyakita yang menipis di pasar disebabkan karena kekurangan bahan baku, yakni minyak sawit mentah atau CPO.

Ia menyebutkan, minimnya bahan baku untuk industri minyak goreng tersebut, disebabkan oleh naiknya permintaan di industri biodiesel. Sebab, pemerintah telah meningkatkan program B20 menjadi B35 tahun ini. Peningkatan tersebut, menyebabkan kebutuhan industri biodiesel bertambah sebanyak tiga juta kiloliter menjadi 12 juta kiloliter.

Pengembangan biodiesel di Indonesia tidak muncul seketika. Melainkan melalui perjalanan panjang, mulai dari laboratorium hingga uji jalan. Diawali dengan riset proses produksi biodiesel oleh beberapa lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia. Kemudian, dilanjutkan dengan uji jalan dan pengaplikasiannya di lapangan.

Riset Awal Pengembangan Program Biodiesel di Indonesia

Biodiesel sejatinya sudah ramai diperbincangkan, serta dikembangkan dengan serius oleh para peneliti dunia di era 1970-an. Ini dipicu munculnya isu krisis minyak dunia. Bahan bakar alternatif ini semakin masif dikembangkan saat disadari energi fosil dianggap memberi pengaruh buruk bagi lingkungan melalui nilai emisinya, serta mengingat sifatnya yang tak dapat diperbarui.

Di Indonesia sendiri, riset terkait penggunaan biodiesel mulai berkembang sejak 1990-an. Peneliti Indonesia melakukan riset untuk biodiesel dari berbagai bahan baku, seperti kelapa sawit, minyak jelantah, jarak pagar dan minyak nabati lainnya. Riset yang dilakukan tidak hanya riset-riset dasar, namun juga produksi skala pilot, hingga uji coba pada mesin.

Tercatat Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), dan Institut Teknologi Bandung (ITB), menjadi institusi awal yang meneliti biodiesel.

Berikut ini beberapa rekam jejak pengembangan program biodiesel oleh beberapa lembaga riset, yang dapat dikatakan sebagai awal perjalanan pengembangan biodiesel di Indonesia, dikutip dari buku "Biodiesel, jejak Panjang Sebuah Perjuangan".

1. Riset Biodiesel oleh LEMIGAS

LEMIGAS bisa dikatakan menjadi pionir riset biodiesel Indonesia. Pusat riset yang bernaung di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian ESDM ini, mulai mengembangkan teknologi biodiesel pada 1994.

Tidak hanya penelitian skala laboratorium, LEMIGAS juga melakukan road test biodiesel dengan campuran 30%. Road test ini, dilakukan dengan menggandeng PT Pertamina.

Biodiesel yang diproduksi LEMIGAS, diuji coba pada kendaraan truk dan mobil Isuzu Panther. Kendaraan diisi dengan campuran bahan bakar solar 70% dan biodiesel 30% atau B30. Sementara, kendaraan truk lainnya diisi 100% solar sebagai pembanding uji coba.

Road test dilakukan dengan rute Jakarta-Bogor-Puncak, yang ditempuh bolak-balik selama tiga bulan hingga mencapai jarak 20.000 kilometer (km).

Melalui hasil pengujian road test, tidak ditemukan adanya kerusakan mesin kendaraan uji yang menggunakan biodiesel. Namun, kendaraan dengan bahan bakar campuran 30% biodiesel membutuhkan konsumsi lebih banyak sekitar 5%, dibandingkan dengan kendaraan yang memakai bahan bakar solar. Ini karena nilai kalor biodiesel lebih rendah daripada solar.

Di akhir 2000, LEMIGAS merancang mesin pengolah biodiesel dengan kapasitas produksi sebanyak 200 liter biodiesel per batch. Mesin ini rampung pada Februari 2001.

Proyek penelitian yang dibiayai Pertamina itu tidak berlanjut dan untuk pengembangan selanjutnya langsung dibiayai oleh Kementerian ESDM. Pengembangan produksi biodiesel dalam skala besar dilanjutkan pada 2008 dengan membangun pilot plant dengan kapasitas 8 ton per hari.

2. Riset Biodiesel oleh PPKS

Lembaga lainnya yang juga melakukan riset awal terkait biodiesel, adalah PPKS. Lembaga ini merupakan salah satu pusat penelitian yang berada di bawah koordinasi Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI).

Penelitian dan pengembangan biodiesel berbahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) telah dilakukan oleh PPKS sejak 1992. Pada 2006 PPKS telah menguasai teknologi proses pengembangan biodiesel dari CPO, dan telah membangun pilot plant berkapasitas 1 ton per hari.

PPKS melakukan penelitian biodiesel pada berbagai kondisi proses, jenis proses, bahan baku, dan bahan pendukung. Bahan baku yang diteliti oleh lembaga ini, berasal dari produk kelapa sawit, yakni CPO, RBDPO, olein, stearin, dan PFAD, dalam berbagai kondisi dan kualitas.

Kemudian, bahan baku utama lainnya yang digunakan, adalah alkohol berjenis metanol dan etanol. Sementara, bahan pendukung yang digunakan meliputi katalis asam, katalis basa atau tanpa katalis.

Penelitian PPKS menunjukkan, hasil dari satu ton CPO bisa dihasilkan 85% biodiesel dan 0,5 kilogram beta-carotene. Biodiesel produksi PPKS ini telah diuji coba sejak 2001 untuk mesin-mesin pertanian dan kendaraan transportasi.

Pada akhir 2004 PPKS melakukan road test biodiesel minyak sawit (BMS). Road test dilakukan dengan kendaraan truk dan mobil, dengan campuran 10% BMS dan 90% BMS. Uji coba dilakukan dengan rute Medan-Jakarta.

Bahan Bakar
Bahan Bakar (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

3. Riset Biodiesel oleh BPPT

BPPT menjadi salah satu lembaga yang juga turut andil dalam awal perjalanan pengembangan biodiesel Indonesia. Ide awal riset biodiesel dimulai pada 2000-an, ketika BPPT akan merealisasikan pabrik kelapa sawit untuk menjawab bisnis kelapa sawit yang tengah terpuruk.

Saat itu, produksi melimpah kelapa sawit tergolong melimpah, tetapi tidak diikuti dengan banyaknya pabrik pengolahan. BPPT pun menyiapkan pabrik kelapa sawit mini di Kampar dengan kapasitas 2 ton. Tim BPPT mulai mengembangkan biodiesel dengan bahan baku limbah cair kelapa sawit atau CPO pond, atau disebut juga CPO parit.

Untuk pengujian mesin, dilakukan di Balai Termodinamika Motor dan Propulsi (BTMP). Mesin yang akan digunakan menjalani pengujian performa dengan dengan bench test, tetapi belum menggunakan chasis dynamometer.

Pada 2003 BPPT melakukan uji jalan kendaraan dengan rute Jakarta-Pekanbaru menggunakan campuran biodiesel 30%, sekaligus sosialisasi ke pabrik kelapa sawit dan juga universitas. Saat itu, road test yang dilakukan hanya sebatas melihat konsumsi dan emisi. Tujuannya, untuk mengetahui apakah bahan bakar ini bisa digunakan pada kendaraan diesel atau tidak.

Di tahun itu pula, pilot plant biodiesel CPO parit dengan kapasitas 3 ton per hari didesain di Kawasan Riau. Pabrik ini memanfaatkan CPO parit yang banyak terdapat di PTPN Riau.

Melalui hasil pilot plant tersebut, pada 2004 dilakukan road test untuk menguji chasis dynamometer, dan uji emisi. Road test dilakukan dengan jarak tempuh 20.000 km, dari Jakarta-Cilegon-Bali (bolak-balik). Uji coba dilakukan bekerjasama dengan Balitbang Provinsi Riau.

Angin Segar Pengembangan Biodiesel di Indonesia

Meski sejak dekade 1990-an hingga pertengahan 2000-an telah dilakukan serangkaian riset dan uji coba, pengembangan biodiesel belum masif. Setidaknya hingga 2005.

Tahun 2005 bisa dikatakan menjadi titik balik perjuangan pengembangan biodiesel di Indonesia. Saat itu, Indonesia menghadapi dilema, di mana harga bahan bakar minyak (BBM) naik lebih dari 100%, mencapai US$ 148 per barel dari sebelumnya US$ 60. Demi menjaga devisa, Pemerintah mencari bahan bakar alternatif.

Melirik keberhasilan riset biodiesel sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan kabinet, membahas biodiesel untuk kemandirian bangsa.

Hasilnya, adalah terbitnya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Perpres ini segera diikuti dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati. Kehadiran Perpres dan Inpres ini, semakin memacu pengembangan riset biodiesel, termasuk yang berasal dari tanaman jarak pagar.

Angin segar pengembangan biodiesel di Indonesia selanjutnya, muncul ketika Pertamina memanfaatkan biodiesel pada 2006. Setelah melewati serangkaian tahapan, Pertamina meluncurkan pemakaian biodiesel untuk bahan bakar kendaraan.

Patut diingat, titik balik perjuangan pengembangan biodiesel ini, selain didahului oleh serangkaian riset, juga berkat kerja Forum Biodiesel Indonesia (FBI), yang terbentuk pada 2002. Ini merupakan wadah para peneliti, akademisi, pengusaha, pemerintah, dan pemerhati biodiesel.

Dalam perjalanannya, FBI mempromosikan biodiesel melalui presentasi di beberapa institusi, Kementerian hingga di depan Komisi VII DPR. Tujuannya, untuk memberikan masukan dan usulan mendukung kemajuan kebijakan biodiesel.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...