Dijuluki Mr. Crack, Ini Sepak Terjang Habibie di Dunia Penerbangan

Image title
7 Februari 2023, 13:37
B.J Habibie, Habibie
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Ilustrasi. Presiden ketiga RI B.J Habibie melambaikan tangan saat akan menghadiri Sidang Tahunan MPR Tahun 2015 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2015).

Beberapa hari terakhir di media massa dan media sosial nama Bacharuddin Jusuf Habibie atau B.J Habibie ramai diperbincangkan. Mencuatnya nama Presiden ketiga Republik Indonesia ini, bukan soal keilmuannya, atau mengenai kebijakan yang ia ambil saat menjabat sebagai Presiden. Namun, karena namanya tidak tercantum dalam jejak lini masa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Ini terlihat pada panel lini masa berjudul 'Sejarah Riset dan Inovasi Indonesia', yang menghiasi kantor BRIN. Panel lima masa tersebut, hanya memuat dua foto animasi Presiden pertama RI Ir. Soekarno dan Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Sisanya, hanya menampilkan logo besar G20.

Advertisement

Mungkin hanya sedikit masyarakat Indonesia yang mengetahui sepak terjang B.J Habibie dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini tidak mengherankan, karena publikasi karya pria yang dijuliki "Mr. Crack" ini, tidak banyak beredar di masyarakat.

Padahal, Habibie menorehkan prestasi yang luar biasa dalam teknologi penerbangan internasional. Selain itu, ia merupakan sosok yang membidani kelahiran beberapa lembaga riset di Indonesia, serta turut serta mengembangkan industri kedirgantaraan nasional.

Ulasan berikut ini, akan membahas mengenai profil singkat B.J Habibie, serta penemuan yang melambungkan namanya di kancah internasional.

Habibie Wafat
Habibie Wafat (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Masa Kecil dan Pendidikan B.J Habibie

Lahir pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan, B.J Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ia lahir dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.

Ia menghabiskan masa kecil di tempat kelahirannya, di Parepare. Namun, menginjak usia 14 tahun ia pindah ke Bandung, Jawa Barat pada 1950 setelah ayahnya meninggal karena penyakit jantung.

Di Bandung, Habibie menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Gouvernments Middlebare School. Setelah tamat SMA pada 1954, ia melanjutkan menempuh pendidikan di jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB).

Masa studi Habibie di ITB tergolong singkat, hanya enam bulan. Sebab, ia memutuskan untuk melanjutkan studi teknologi penerbangan di Universitas Teknologi Delft, Belanda.

Namun, karena sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda, Habibie pindah ke Universitas RWTH Aachen di Jerman Barat dengan jurusan konstruksi pesawat terbang. Ia menyelesaikan gelar tekniknya (Diplom-Ingenieur) pada 1960, dan tinggal di Aachen sebagai asisten peneliti sambil menyelesaikan gelar doktornya.

Selama masa studi doktor tersebut, Habibie bekerja untuk Waggenfabrik Talbot, sebuah perusahaan kereta api, di mana ia membantu merancang gerbong kereta. Pada 1965, ia menerima gelar Doktor Ingenieur (Dr. Ing.) di bidang teknik kedirgantaraan.

Penemuan Habibie di Bidang Teknologi Penerbangan

Usai menyelesaikan pendidikan doktor di bidang teknik kedirgantaraan, Habibie kemudian bergabung dengan Messerschmitt-Bolkow-Blohm (MBB), sebuah perusahaan penerbangan Jerman. Di perusahaan ini, ia mengembangkan Metode Habibie (aerodinamika), Teorema Habibie (konstruksi), dan Faktor Habibie (termodinamika).

Selama berkarir di MBB, Habibie mengembangkan suatu metode yang akhirnya mengubah wajah dunia penerbangan. Metode atau penemuan yang dimaksud, adalah teori perambatan retak atau crack propagation theory. Temuan inilah yang membuat ia dijuliki "Mr. Crack".

Teori perambatan retak dicetuskan Habibie untuk menjawab akibat kecelakaan pesawat saat itu, yang utamanya disebabkan karena kegagalan konstruksi, kebanyakan karena kelelahan (fatigue) pada badan pesawat.

Hingga awal dekade 1960-an, kecelakaan pesawat sering terjadi karena kegagalan konstruksi, kebanyakan karena kelelahan pada badan pesawat. Ketika kelelahan logam terjadi, itu adalah awal dari sebuah retakan.

Titik kritis kelelahan umumnya terletak pada sambungan antara sayap, dan dudukan mesin, atau antara sayap dan badan pesawat. Titik-titik ini mengalami turbulensi konstan, terutama saat lepas landas dan mendarat.

Titik retak akan terus bercabang dan menyebar hari demi hari di dalam struktur pesawat. Jika tidak terdeteksi, sayap bisa patah saat lepas landas.

Saat itu, masih sulit untuk menemukan kelelahan ini lebih awal, karena tidak ada pemindai laser atau sensor untuk mengatasi masalah krusial ini. Risiko kelelahan semakin signifikan, karena industri penerbangan beralih dari penggunaan baling-baling ke jet.

Melalui teori yang dicetuskan Habibie, titik retak dapat diprediksi lebih awal. Ini membuat pesawat lebih aman, karena mengurangi risiko kegagalan mendadak, sekaligus membuat perawatannya lebih murah dan mudah. Dengan titik retak tertentu, konstruksi pesawat juga menjadi lebih cepat karena uji fatigue dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat.

Sebelumnya, para insinyur penerbangan biasa mengatasi kemungkinan retakan dengan menaikkan faktor keamanan. Ini berarti menggunakan bahan yang lebih berat untuk badan pesawat, menggunakan paduan aluminium dan baja.

Setelah titik retak dapat ditentukan, faktor keamanan atau safety factor dapat dikurangi, dan pesawat dapat dibuat dengan menggunakan material yang lebih ringan.

Inilah yang disebut "Faktor Habibie", yang dapat  meringankan bobot kosong operasi, yakni bobot penumpang dan pesawat tanpa bobot bahan bakar, hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan, angka ini bisa turun hingga 25% setelah Habibie memperhitungkan penggunaan material komposit ke badan pesawat.

Penggunaan material komposit tidak membuat penurunan berat badan maksimal take off weight-nya, yakni berat total pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar, ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut dan pesawat bertambah jarak tempuh lebih jauh. Sehingga secara ekonomis, performa pesawat dapat ditingkatkan.

Faktor Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian badan pesawat. Sehingga, sambungan badan pesawat yang berbentuk silinder dengan sayap samping yang berbentuk oval, mampu menahan tekanan udara saat badan pesawat lepas landas.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement