Polemik Proyek Food Estate yang Disinggung saat Debat Pilpres 2024
Topik food estate kembali disorot dalam debat Pilpres 2024, Minggu (21/1). Calon wakil presiden nomor urut 1 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, mengatakan proyek ini merugikan, dan akan dihentikan jika Anies Baswedan dan dirinya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.
"Food estate terbukti mengabaikan petani, kita meninggalkan masyarakat adat dan menyebabkan konflik agraria dan bahkan merusak lingkungan. Ini harus dihentikan," ujarnya.
Kritikan terhadap food estate sebelumnya juga diungkapkan oleh calon presiden nomor 1 Anies Baswedan dalam debat Pilpres 7 Januari lalu. Anies menuding proyek ini hanya menguntungkan kroni-kroni, merusak lingkungan dan tidak menghasilkan.
Ia juga menuduh proyek food estate juga dikelola oleh orang dalam calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto. Namun, tudingan tersebut langsung dibantah dalam debat tersebut oleh Prabowo.
Proyek lumbung pangan yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 ini memang menuai kritik, dan diselimuti berbagai permasalahan sejak awal pelaksanaannya.
Sekilas tentang Proyek Food Estate
Food estate merupakan kebijakan pemerintah untuk pengembangan pangan secara terintegrasi pada lahan seluar 165.000 hektare. Program ini menjadi salah satu kebijakan yang masuk dalam PSN 2020-2024.
Proyek model ini sebenarnya telah dimulai sejak era Presiden Soeharto. Saat itu, Presiden Kedua RI tersebut mendorong program ketahanan pangan melalui program bimbingan massal dan proyek lahan gambut. Namun, kedua proyek ini berujung gagal.
Proyek serupa dengan food estate, kemudian digagas kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, yang pada 2010 menggagas proyek lumbung pangan di Merauke dan Kalimantan Utara. Namun, pembangunan lumbung pangan di kedua wilayah tersebut juga tak memberikan kemajuan berarti.
Proyek food estate kembali diteruskan di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pelaksanannya mencakup beberapa provinsi di Indonesia, antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga Papua.
Pekerjaannya melibatkan kementerian lain yang meliputi Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian PUPR. Dalam pelaksanaannya, Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun.
Permasalahan dalam Proyek Food Estate
Sejak awal pelaksanaannya, proyek food estate diiringi banyak masalah, seperti pengelolaan anggaran. penyelenggaraan kegiatan yang belum sesuai ketentuan, ancaman konflik agraria, serta kritik kerusakan lingkungan.
1. Temuan BPK Terkait Penyelenggaraan dan Pengelolaan Anggaran Food Estate
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa persoalan signifikan dalam pemeriksaan kegiatan Pembangunan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP)/Food Estate Tahun Anggaran 2020 sampai dengan Triwulan III 2021 pada Kementerian Pertanian serta Instansi Terkait Lainnya.
Menurut BPK, ada tiga persoalan signifikan yang ditemukan. Pertama, perencanaan kegiatan belum berdasarkan data dan informasi yang valid dan belum sesuai dengan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) serta Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Kedua, beberapa kegiatan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau yang dilaksanakan secara swakelola belum memenuhi ketentuan. Ketiga, penetapan lahan lokasi pembangunan food estate yang belum sesuai ketentuan.
Selain itu, BPK juga menemukan persoalan dalam pemeriksaan terpisah. Dalam pemeriksaan anggaran program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020, BPK menemukan anggaran keuangan bermasalah sebesar Rp 9 triliun.
Dari anggaran tersebut, dana sebesar Rp 803,3 miliar di Kementerian Pertanian yang terkait dua program, salah satunya food estate, diduga bermasalah. Menurut laporan BPK, persoalannya ada pada pelaksanaan pengolahan lahan yang tidak sesuai seluas 30 ribu hektare dengan nilai Rp 15,2 miliar.
BPK juga mencatat potensi permasalahan kelebihan lahan pada pengembangan kawasan food estate di Kalimantan Tengah yang dikelola Ditjen Prasarana dan Saran Pertanian tahun 2020. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kelebihan luas lahan tersebut di 19 kelompok tani dengan total 370,99 hektare atau setara dengan bantuan sarana dan produksi senilai Rp 1,5 miliar.
2. Tudingan Kerusakan Lingkungan, Konflik Agraria, dan Pengabaian Hak Pangan
Selain soal pengelolaan anggaran, proyek food estate juga dituding menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, menimbulkan konflik agraria, serta mengabaikan hak atas nutrisi dan pangan oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat.
Kerusakan Lingkungan dan Ancaman Konflik Agraria
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) misalnya, menyebutkan food estate komoditas singkong dari luasan area of interest (AoI) tahap pertama seluas 32.000 hektare berdampak pada kerusakan lingkungan. Direktur Walhi Kalimantan Tengah Bayu Herinata mengatakan, pembukaan kawasan hutan seluas kurang lebih 600 hektare menyebabkan banjir yang berimbas ke desa-desa terdekat.
Tak hanya kerusakan lingkungan di Kalimantan, Walhi juga menyebut food estate juga menimbulkan konflik agraria, seperti yang terjadi di NTT. Di provinsi ini, kawasan proyek bersinggungan dengan hutan adat Pandumaan Sipituhuta seluas kurang lebih 2.042 hektare. Selain itu, subjek produsen pangan proyek ini di NTT juga bukan petani kecil.
Potensi konflik agraria juga diungkapkan oleh Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia. Seperti yang terjadi Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, di mana kebun yang sebelumnya ditanami karet dan sawit tiba-tiba digusur dan berubah menjadi sawah.
Atau seperti yang terjadi di Desa Tewai Baru di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, di mana sebagian hutan "hilang" dan berubah menjadi lahan untuk food estate komoditas singkong.
Sebelum berubah jadi kebun singkong, hutan itu adalah tumpuan penduduk setempat mengambil kayu untuk membangun rumah, berburu kancil dan babi, serta mencari ramuan tradisional. Kini, lahan yang secara turun-temurun ditanami sayur terong, kacang panjang, kundur, dan pohon karet oleh masyarakat setempat, diganti menjadi lahan food estate yang justru mangkrak.
"Hutan itu bukan tidak pernah diinjak, itu tempat kami orang Dayak ke hutan, sekarang seperti lapangan. Siapa yang tidak marah? Sudah berpuluh tahun tanam pohon karet mau disadap kok digusur," kata Rangkap, salah satu warga Desa Tawai Baru, dikutip dari BBC Indonesia.
Proyek singkong yang mangkrak tersebut, kini diganti komoditas jagung. Walhi menyebut, proyek food estate kebun jagung senilai Rp 54 miliar tersebut dipaksakan demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong yang mangkrak
Pengabaian Hak Pangan dan Nutrisi Masyarakat Setempat
Selain kerusakan lingkungan, proyek food estate juga mendapatkan sorotan terkait keberadaannya yang mengabaikan hak pangan warga tempat proyek tersebut dilaksanakan.
Menurut laporan FIAN Indonesia berjudul 'Memantau Hak Atas Pangan dan Gizi: Seputar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah', proyek ini merupakan solusi yang hanya berbasis pasar untuk kepentingan korporasi dan sekadar mencari produktivitas satu komoditas saja.
"Proyek food estate mencabut sistem pangan lokal yang ada di masyarakat, dan mengubahnya dengan sistem pangan global untuk menjawab keinginan pasar," kata Anggota staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia Gusti NA Shabia, dikutip dari Kompas.id.
Menurut laporan FIAN, sistem pangan lokal sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Kebiasaan masyarakat berladang, seperti masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, sudah sangat beragam dengan kekayaan nutrisi dan gizi yang terkandung dalam pangan yang dikonsumsi.
Berbagai kajian yang telah dilakukan juga mendukung laporan FIAN ini. Misalnya, kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics pada 2016, menyebutkan tanaman kelakai, yang merupakan salah satu komoditas pangan masyarakat Dayak, mengandung zat besi atau Fe (41,53 ppm) dan beta karoten (66,99 ppm).
Ladang-ladang yang sebelumnya ditanami komoditas pangan lokal tersebut, kini berubah menjadi sawah-sawah karena proyek food estate. Mengutip Kompas.id, setidaknya 16.000 hektare ladang masyarakat dikonversi menjadi sawah untuk ditanami padi, yang benihnya diberikan oleh pemerintah.
"Masyarakat memiliki sistem pangan yang sangat beragam, tetapi melalui food estate disederhanakan dengan sistem monokultur, karena tujuannya meningkatkan produktivitas, bukan pemenuhan hak atas gizi dan nutrisi," kata Shabia.