Perang Berpotensi Meletus antara Rusia dan Ukraina, Apa Penyebabnya?

Agustiyanti
13 Februari 2022, 15:32
rusia, ukraina, konflik rusia dan ukraina, perang rusia dan ukraina
ANTARA FOTO/REUTERS/Maxim Shemetov/hp/cf
Ilustrasi. Rusia saat ini memiliki 100 ribu tentara yang berkumpul di dekat Ukraina.

Konflik antara Rusia dan Ukraina semakin memanas. Amerika Serikat dan negara-negara sekutu telah menyerukan warganya untuk meninggalkan Ukraina karena Rusia berpotensi melakukan invasi ke negara tersebut dalam waktu dekat. 

Rusia saat ini memiliki 100 ribu tentara yang berkumpul di dekat Ukraina.  Sekjen NATO memperingatkan risiko konflik sangat nyata. AS mengatakan, invasi Rusia bisa terjadi kapan saja, tetapi tidak tahu atau percaya bahwa Presiden Vladimir Putin telah memutuskannya. 

Pejabat Militer Rusia bersikeras tidak memiliki rencana untuk menyerang Ukraina, terapi Putin tidak mengesampingkan kemungkinan tersebut. 

Presiden Joe Biden telah meminta warga AS untuk meninggalkan Ukraina. Inggris, Jepang, Belanda, Latvia, dan Norwegia mengambil langkah serupa.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson bahkan mengatakan, beberapa hari ke depan akan menjadi momen paling berbahaya dalam krisis keamanan terbesar yang dihadapi Eropa selama beberapa dekade. 

Perwira tinggi militer Presiden Biden, Jenderal Mark Milley, telah memperingatkan skala pasukan Rusia akan menyebabkan sejumlah besar korban dan pertempuran di daerah perkotaan akan mengerikan.

Meski demikian, Ukraina kurang yakin dengan peringatan dari negara-negaa Barat. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mengimbau para pemimpin Barat untuk tidak menyebarkan "kepanikan".

Apa sebenarnya pemicu konflik kedua negara?

Mengutip CNN, ketegangan antara Ukraina dan Rusia yang merupakan bekas negara Soviet, meningkat pada akhir 2013 karena kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa. Setelah Presiden saat itu yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, menangguhkan pembicaraan, yang dilaporkan di bawah tekanan dari Moskow, protes selama berminggu-minggu di Kyiv meletus menjadi kekerasan.

Pada Maret 2014, Rusia mencaplok Krimea, sebuah semenanjung otonom di Ukraina selatan dengan loyalitas Rusia yang kuat. Rusia berdalih membela kepentingannya dan kepentingan warga negara yang berbahasa Rusia. 

Hanya dalam beberapa hari, Rusia menyelesaikan pencaplokannya dalam referendum yang dikecam oleh Ukraina dan sebagian besar dunia sebagai tidak sah.

Tak lama setelah itu, separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk Ukraina mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Kyiv, yang memicu pertempuran sengit selama berbulan-bulan. Meskipun Kyiv dan Moskow menandatangani kesepakatan damai di Minsk pada 2015, yang ditengahi oleh Prancis dan Jerman, telah terjadi pelanggaran gencatan senjata berulang kali.

Menurut angka PBB, ada lebih dari 3.000 kematian warga sipil terkait konflik di Ukraina timur sejak Maret 2014.

Uni Eropa dan AS telah memberlakukan serangkaian tindakan sebagai tanggapan atas tindakan Rusia di Krimea dan Ukraina timur, termasuk sanksi ekonomi yang menargetkan individu, entitas, dan sektor tertentu dari ekonomi Rusia.

Kremlin menuduh Ukraina memicu ketegangan di timur negara itu dan melanggar perjanjian gencatan senjata Minsk.

Kremlin telah berulang kali membantah bahwa Rusia berencana menginvasi Ukraina, bersikeras bahwa Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi siapa pun dan bahwa negara yang memindahkan pasukan melintasi wilayahnya sendiri seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.

Kremlin telah berulang kali membantah bahwa Rusia berencana menginvasi Ukraina, bersikeras bahwa Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi siapa pun dan bahwa negara yang memindahkan pasukan melintasi wilayahnya sendiri seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...