Perang Berpotensi Meletus antara Rusia dan Ukraina, Apa Penyebabnya?
Konflik antara Rusia dan Ukraina semakin memanas. Amerika Serikat dan negara-negara sekutu telah menyerukan warganya untuk meninggalkan Ukraina karena Rusia berpotensi melakukan invasi ke negara tersebut dalam waktu dekat.
Rusia saat ini memiliki 100 ribu tentara yang berkumpul di dekat Ukraina. Sekjen NATO memperingatkan risiko konflik sangat nyata. AS mengatakan, invasi Rusia bisa terjadi kapan saja, tetapi tidak tahu atau percaya bahwa Presiden Vladimir Putin telah memutuskannya.
Pejabat Militer Rusia bersikeras tidak memiliki rencana untuk menyerang Ukraina, terapi Putin tidak mengesampingkan kemungkinan tersebut.
Presiden Joe Biden telah meminta warga AS untuk meninggalkan Ukraina. Inggris, Jepang, Belanda, Latvia, dan Norwegia mengambil langkah serupa.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson bahkan mengatakan, beberapa hari ke depan akan menjadi momen paling berbahaya dalam krisis keamanan terbesar yang dihadapi Eropa selama beberapa dekade.
Perwira tinggi militer Presiden Biden, Jenderal Mark Milley, telah memperingatkan skala pasukan Rusia akan menyebabkan sejumlah besar korban dan pertempuran di daerah perkotaan akan mengerikan.
Meski demikian, Ukraina kurang yakin dengan peringatan dari negara-negaa Barat. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mengimbau para pemimpin Barat untuk tidak menyebarkan "kepanikan".
Apa sebenarnya pemicu konflik kedua negara?
Mengutip CNN, ketegangan antara Ukraina dan Rusia yang merupakan bekas negara Soviet, meningkat pada akhir 2013 karena kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa. Setelah Presiden saat itu yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, menangguhkan pembicaraan, yang dilaporkan di bawah tekanan dari Moskow, protes selama berminggu-minggu di Kyiv meletus menjadi kekerasan.
Pada Maret 2014, Rusia mencaplok Krimea, sebuah semenanjung otonom di Ukraina selatan dengan loyalitas Rusia yang kuat. Rusia berdalih membela kepentingannya dan kepentingan warga negara yang berbahasa Rusia.
Hanya dalam beberapa hari, Rusia menyelesaikan pencaplokannya dalam referendum yang dikecam oleh Ukraina dan sebagian besar dunia sebagai tidak sah.
Tak lama setelah itu, separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk Ukraina mendeklarasikan kemerdekaan mereka dari Kyiv, yang memicu pertempuran sengit selama berbulan-bulan. Meskipun Kyiv dan Moskow menandatangani kesepakatan damai di Minsk pada 2015, yang ditengahi oleh Prancis dan Jerman, telah terjadi pelanggaran gencatan senjata berulang kali.
Menurut angka PBB, ada lebih dari 3.000 kematian warga sipil terkait konflik di Ukraina timur sejak Maret 2014.
Uni Eropa dan AS telah memberlakukan serangkaian tindakan sebagai tanggapan atas tindakan Rusia di Krimea dan Ukraina timur, termasuk sanksi ekonomi yang menargetkan individu, entitas, dan sektor tertentu dari ekonomi Rusia.
Kremlin menuduh Ukraina memicu ketegangan di timur negara itu dan melanggar perjanjian gencatan senjata Minsk.
Kremlin telah berulang kali membantah bahwa Rusia berencana menginvasi Ukraina, bersikeras bahwa Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi siapa pun dan bahwa negara yang memindahkan pasukan melintasi wilayahnya sendiri seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.
Kremlin telah berulang kali membantah bahwa Rusia berencana menginvasi Ukraina, bersikeras bahwa Rusia tidak menimbulkan ancaman bagi siapa pun dan bahwa negara yang memindahkan pasukan melintasi wilayahnya sendiri seharusnya tidak perlu dikhawatirkan.
Moskow melihat meningkatnya dukungan untuk Ukraina dari NATO dalam hal persenjataan, pelatihan dan personel sebagai ancaman bagi keamanannya. Rusia juga menuduh Ukraina meningkatkan jumlah pasukannya sendiri dalam persiapan untuk upaya merebut kembali wilayah Donbas, tuduhan yang telah dibantah Ukraina.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyerukan perjanjian hukum khusus yang akan mengesampingkan ekspansi NATO lebih lanjut ke arah timur menuju perbatasan Rusia, dengan mengatakan Barat tidak memenuhi jaminan lisan sebelumnya.
Putin juga mengatakan bahwa NATO yang mengerahkan senjata canggih di Ukraina, seperti sistem rudal, melewati "garis merah" bagi Rusia.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan pada November bahwa senjata dan penasihat militer sudah dipasok ke Ukraina oleh AS dan negara-negara anggota NATO lainnya. "Dan semua ini, tentu saja, semakin memperburuk situasi di garis perbatasan," katanya.
Jika AS dan sekutu NATO-nya tidak mengubah arah di Ukraina, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov memperingatkan bahwa Moskow memiliki "hak untuk memilih cara memastikan kepentingan keamanannya yang sah."
Sementara itu, Pemerintah Ukraina menegaskan bahwa Moskow tidak dapat mencegah Kyiv membangun hubungan yang lebih dekat dengan NATO.
"Rusia tidak dapat menghentikan Ukraina untuk semakin dekat dengan NATO dan tidak memiliki hak untuk berbicara dalam diskusi yang relevan," kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan kepada CNN.
Menurut Ukraina, Rusia sedang berusaha untuk mengacaukan negaranya. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky baru-baru ini mengatakan plot kudeta, yang melibatkan Rusia, telah terungkap.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba memperingatkan bahwa kudeta yang direncanakan dapat menjadi bagian dari rencana Rusia menjelang invasi militer. "Tekanan militer eksternal berjalan seiring dengan destabilisasi domestik negara itu," katanya.
Ketegangan antara kedua negara telah diperburuk oleh krisis energi Ukraina yang semakin dalam yang menurut Kyiv telah diprovokasi oleh Moskow dengan sengaja.
Pada saat yang sama, pemerintahan Zelensky menghadapi tantangan di banyak bidang. Popularitas pemerintah telah mengalami stagnasi di tengah berbagai tantangan politik domestik, termasuk gelombang ketiga infeksi Covid-19 baru-baru ini dan ekonomi yang sedang berjuang.
Banyak orang juga tidak senang karena pemerintah belum memenuhi manfaat yang dijanjikan dan mengakhiri konflik di timur negara itu. Protes anti-pemerintah telah terjadi di Kyiv.
Dalam pidato video 19 Januari, Zelensky mendesak rakyat Ukraina untuk "tenang" di tengah meningkatnya kegelisahan atas kemungkinan invasi Rusia. "Kami menyadari segalanya, kami siap untuk segalanya," katanya, sebelum menambahkan bahwa dia "sangat percaya" tahun ini "akan berlalu tanpa perang" dengan Rusia.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan "akan ada harga tinggi yang harus dibayar untuk Rusia jika sekali lagi menyerang Ukraina. "Kami memiliki berbagai pilihan: sanksi ekonomi, sanksi keuangan, pembatasan politik," kata Stoltenberg, dalam wawancara 1 Desember dengan CNN.
Setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 2014, NATO tidak hanya meningkatkan pertahanannya dengan kelompok tempur siap tempur di bagian timur aliansi, di negara-negara Baltik, di Latvia tetapi juga di wilayah Laut Hitam.
Ukraina, menurut dia, sebenarnya bukan anggota NATO. Oleh kareta itu, Ukraina tidak memiliki jaminan keamanan yang sama dengan anggota NATO. Meski demikian, Stoltenberg mengatakan bahwa Rusia tidak memiliki hak untuk memberitahu Ukraina bahwa mereka tidak dapat mengejar keanggotaan NATO.