AS Berupaya Hancurkan Ekonomi Rusia Lewat Sanksi, Apakah Efektif?
Amerika Serikat dan negara-negara Barat telah merespons invasi Rusia ke Ukraina dengan deretan sanksi yang dapat melumpuhkan ekonomi Moskow. Ekonomi Rusia diperkirakan minus 35% pada kuartal kedua tahun ini dan minus 7% pada tahun ini.
Kelompok tujuh negara ekonomi utama dunia atau G-7 telah memberlakukan sanksi hukuman yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Bank Sentral Rusia bersama dengan tindakan luas oleh Barat terhadap oligarki dan pejabat negara itu, termasuk Presiden Rusia Vladimir Putin.
Bank-bank penting Rusia telah dilarang dari sistem pembayaran internasional SWIFT, mencegah mereka dari komunikasi internasional yang aman dan mengucilkan mereka dari sebagian besar sistem keuangan global.
Sanksi yang diumumkan Amerika Serikat selama pekan ini juga menargetkan dana kekayaan nasional Federasi Rusia dan Kementerian Keuangan Federasi Rusia.
Mereka juga secara efektif melarang investor Barat melakukan bisnis dengan bank sentral dan membekukan aset luar negerinya.
Dalam sanksi terbarunya pekan ini, Presiden AS Joe Biden juga mengumumkan bahwa penerbangan Rusia akan dilarang dari wilayah udara AS, mengikuti keputusan serupa oleh UE dan Kanada.
Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mengatakan kepada stasiun radio Prancis bahwa tujuan dari putaran terakhir sanksi adalah untuk menyebabkan runtuhnya ekonomi Rusia.
Rubel Rusia telah jatuh sejak negara itu menginvasi tetangganya pekan lalu dan mencapai titik terendah sepanjang masa di 109,55 terhadap dolar AS pada Rabu pagi.
Saham Rusia juga mengalami aksi jual besar-besaran. Bursa saham Moskow ditutup untuk hari ketiga berturut-turut pada Rabu (2/3) karena pihak berwenang berupaya untuk membendung penurunan harga aset lokal.
Di sisi lain, operasional bank terbesar di Rusia, Sberbank di Eropa dihentikan. Sahamnya yang terdaftar di London telah anjlok lebih dari 95% dan kini diperdagangkan dengan harga satu sen.
Bank Sentral Rusia telah menaikkan suku bunga hingga dua kali lipat dari 9,5% menjadi 20% guna mengurangi dampak volatilitas di pasar keuangan.
Namun demikian, para analis menilai langkah untuk membekukan cadangan devisa adalah kunci untuk memblokir kemampuan Rusia menstabilkan ekonominya.
Ekonom Swedia dan mantan rekan senior Dewan Atlantik Anders Aslund mengatakan bahwa sanksi Barat secara efektif dapat menghancurkan keuangan Rusia dalam satu hari.
“Situasinya kemungkinan akan menjadi lebih buruk daripada tahun 1998 karena sekarang tidak ada akhir yang positif. Semua pasar modal Rusia tampaknya musnah dan mereka tidak mungkin kembali dengan sesuatu yang kurang dari reformasi yang mendalam, ” ujarnya.
Krisis Keuangan
Kepala Ekonom Goldman Sachs Clemens Grafe mengatakan, Bank Sentral Rusia sebelumnya dapat mengandalkan cadangannya untuk menahan volatilitas Rubel, Bany ia tidak lagi dapat melakukannya. Sebaliknya, itu perlu menyesuaikan suku bunga dan langkah-langkah non-pasar lainnya untuk menstabilkan Rubel.
“Membatasi volatilitas Rubel tanpa cadangan yang memadai lebih sulit dan Rubel telah terjual, dengan implikasi untuk inflasi dan suku bunga,” kata dia.
Goldman Sachs telah menaikkan perkiraan akhir tahun untuk inflasi Rusia menjadi 17% dari proyeksi sebelumnya 5%, dengan risiko condong ke sisi atas mengingat rubel dapat dijual lebih lanjut.
Pertumbuhan ekonomi juga diperkirakan terpukul parah. Goldman Sachs merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Rusia dari kontraisi 2% menjadi kontraksi 7%.
“Kondisi keuangan mereka dalam kondisi yang ketat sama dengan 2014. Kami perkirakan permintaan domestik turun 10%,” kata Grafe.
Kondisi ekonomi Rusia ini mirip dengan kondisi keuangan 2008/2009 yang terkontraksi 7,5% dan saat krisis keuangan pada 1998 yang minus 6,8%. JP Morgan memperkirakan ekonomi Rusia pada kuartal kedua tahun ini akan terkontraksi 35% dan minus 7% untuk sepanjang tahun ini.
"Penurunan ekonomi Rusia kemungkinan dapat mencapai titik terendahnya mencapai minus 12%, lebih besar dibandingkan saat krisis 1998 minus 10%, krisis 2018 minus 11%, dan krisis akibat Covid-19 minus 9%," ujar Anatoliy Shal dari JPMorgan dalam catatannya kepada klien.
Menurut Shal, isolasi ekonomi dan politik Rusia akan berdampak pada ekonomi Rusiadalam jangka panjang. Ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Rusia pada tahun depan tak akan tumbuh dan hanya mampu tumbuh 1% dalam jangka panjang.
Sementara itu, Liam Peach, ekonom pasar berkembang di Capital Economics memperkirakan PDB Rusia pada 2022 terkontraksi 5%, lebih buruk dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya untuk pertumbuhan 2,5%. Sementara inflasi tahunan Rusia diperkirakan mencapai 15% musim panas ini.
Peach menyarankan bahwa skenario terburuk bagi Rusia dalam hal sanksi internasional akan melibatkan pembatasan aliran minyak dan gas, yang mewakili sekitar setengah dari semua ekspor barang dan sepertiga dari pendapatan pemerintah.
“Membatasi ini juga akan menghentikan sumber utama pendapatan dolar bagi perusahaan energi yang memiliki utang FX dan mungkin menyebabkan krisis keuangan yang jauh lebih signifikan di Rusia,” katanya.
Kendala utama bagi Rusia adalah ketidakmampuannya untuk menggunakan cadangan devisanya men guna mengatasi kejatuhan rubel, tetapi Grafe menyarankan ini dapat diatasi dengan mengubah mata uang referensi rubel ke yuan Tiongkok dari dolar AS.
“Ini juga akan memungkinkan CBR dan Kementerian Keuangan untuk mematuhi aturan fiskal mereka yang menyalurkan kelebihan penghematan fiskal karena harga minyak yang lebih tinggi ke aset asing,” katanya.
Namun, menciptakan pasar lintas mata uang akan membutuhkan kerja sama penuh dari Beijing, yang menurut Goldman Sachs tidak mungkin mengingat risiko sanksi sekunder bagi Cina karena membantu Rusia menghindari sanksi Barat.
Regulator perbankan Cina pada hari Rabu mengatakan negara itu menentang dan tidak akan bergabung dengan sanksi keuangan terhadap Rusia. Kementerian Luar Negeri Cina sejauh ini menolak menyebut serangan terhadap Ukraina sebagai invasi, alih-alih mempromosikan diplomasi dan negosiasi.