Mahasiswa RI di Australia Jadi Cleaning Service karena Beasiswa Macet

Agustiyanti
31 Oktober 2022, 06:10
beasiswa, kemenag
Istimewa
Pertemuan mahasiswa dengan perwakilan RI di Australia untuk membahas beasiswa Kemenag yang tak kunjung turun. Foto: Istimewa

Kandidat PhD di School of Social Sciences, Western Sydney University Imam Malik Riduan terpaksa harus bekerja sebagai tenaga kebersihan atau cleaning service sambil menyelesaikan pendidikannya. Beasiswa yang seharusnya ia terima dari Kementerian Agama tak kunjung cair sejak Desember tahun lalu.  

Imam yang saat ini memasuki tahun keempat menjadi penerima beasiswa 5.000 Doktor Kementerian Agama-Lembaga Pengelola Dana Pendidikan  (LPDP) kebingungan karena dana biaya hidup dan biaya perkuliahan lainnya yang seharusnya ia terima selama menyenam pendidikan tak kunjung cair. Ia terpaksa memutar otak agar tetap dapat menyelesaikan pendidikannya. 

"Awalnya saya tidak bekerja karena masih ada tabungan. Saya kira ini hanya keterlambatan satu atau dua bulan. Teman-teman yang lain juga demikian." ujar Imam kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu. 

Ia mengatakan, biaya untuk kuliah atau tuition fee-nya akhirnya cair bulan lalu setelah sempat menunggak. Namun, biaya hidup yang seharusnya ia terima tak kunjung datang. 

"Butuh sekitar Rp 45 juta per bulan untuk hidup sederhana di Australia. Mau tidak mau saya harus bekerja. Saya pernah menjadi pengepak sayuran, mengantar makanan, dan tukang bersih-bersih," ujarnya. 

Ia mengatakan, harus bekerja sekitar 6 jam per hari untuk memenuhi kebutuhan hidup di Australia. Di sisi lain, Imam dituntut untuk serius dalam belajar sebagai penerima beasiswa. 

"Saya sendiri mahasiswa dengan reading disleksia. Jadi saya enam kali lebih membaca dibandingkan orang biasa dan saya harus bekerja minimal enam jam sehari," ujarnya. 

Menurut Imam, kesulitan pada mahasiswa  penerima beasiswa yang tak kunjung cair ini tak sebatas waktu untuk belajar. Banyak mahasiswa yang sudah membawa keluarganya ke Australia terpaksa saling bergantian menitipkan anak agar tetap bisa bekerja untuk menghidupi keluarganya sambil menyelesaikan pendidikan. 

Di Australia, menurut dia, anak di bawah umur harus memiliki penanggung jawab. Padahal,  kedua orang tua harus bekerja karena penghasilan tidak akan cukup jika hanya salah satu yang bekerja. Ini membuat para mahasiswa dan keluarganya harus  saling menitipkan anak.

"Anak-anak kecil itu sering menangis, hidup di kebudayaan baru dan dititipkan ke sana-sini," ujarnya. 

Ia mengaku beruntung belum memboyong keluarganya ke Australia di kondisinya yang tak pasti. 

Kesulitan juga dialami oleh penerima beasiswa Kemenag lainnya Indra Fajar Nurdin yang sedang menempuh S3 di Curtin University, Perth. Senada dengan Imam, ia saat ini baru menerima pembayaran tuition fee pada bulan ini setelah menunggak selama beberapa bulan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...