Poin-poin Krusial yang Dirombak di Revisi UU Kesehatan
Pemerintah dan DPR merombak hampir seluruh pasal dalam Bab XII terkait Pendanaan Kesehatan dalam UU Kesehatan yang baru. Salah satu pasal yang dihapus adalah terkait alokasi wajib atau mandatory spending untuk bidang kesehatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Dalam UU Kesehatan yang baru disahkan DPR kemarin (12/7), tidak ada kewajiban untuk mengalokasikan persentase tertentu dari anggaran negara untuk kesehatan. Beleid tersebut hanya mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk bidang kesehatan.
"Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran Kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja," seperti tertulis dalam Ayat (3) Pasal 409 pada Rabu (12/7).
Pemerintah daerah diwajibkan melakukan hal yang sama seperti diatur Ayat (4) Pasal 409. Akan tetapi, Ayat (6) Pasal 409 menyatakan pemerintah pusat dapat menyinkronkan kebutuhan alokasi anggaran kesehatan di daerah.
UU Kesehatan juga menekankan pembuatan Anggaran Kesehatan telah memperhatikan penyelesaian permasalahan epidemiologi. Ini artinya, pemerintah harus dapat memproyeksikan penyelesaian atau masalah epidemiologi yang akan muncul nantinya.
Pemerintah sebelumnya wajib mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan mencapai 5% dari total APBN berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Kewajiban alokasi anggaran tersebut sempat dinaikkan menjadi 10% dalam draf revisi UU Kesehatan sebelum masuk ke komisi IX.
Adapun kewajiban alokasi anggaran kesehatan sebesar 5% dari APBN tak menghitung gaji untuk petugas kesehatan. Anggaran tersebut hanya digunakan untuk pengadaan vaksin, obat, alat kesehatan, hingga riset.
Pengaturan BPJS Kesehatan
Selain menghapus kewajiban mengalokasikan 5% anggaran untuk kesehatan, UU Kesehatan yang baru juga menghilangkan seluruh kata "BPJS Kesehatan". Selain itu, revisi UU Kesehatan juga tidak mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan.
Ayat (1) Pasal 100 hanya mengatur pemberi kerja untuk menjamin kesehatan pekerjanya dan menanggung seluruh pemeliharaan kesehatan pekerjanya, baik saat bekerja maupun tidak.
Pada Draf UU Kesehatan, Pasal 242 mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS Kesehatan. Selain itu, pekerja berhak mendaftarkan dirinya sendiri sebagai tanggungan pemberi kerja.
Namun demikian, UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial masih mewajibkan pemberi kerja untuk memungut iuran BPJS Kesehatan dari pekerja dan memberikannya. Jika melanggar hal tersebut, pemberi kerja diancam bui paling lama delapan tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Di sisi lain, Ayat (2) Pasal 411 mengatur seluruh penduduk wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Nau UU Kesehatan yang baru tidak mengatur mengenakan sanksi apapun jika ada orang yang tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Pasal 411 pun mengatur peningkatan pelayanan kesehatan dengan menggabungkan manfaat dari BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan komersial. Hal tersebut tertuang dalam Ayat (5) dan (6).
Berorientasi Investor
UU Kesehatan yang baru juga mengatur sumber pendanaan di bidang kesehatan. Ayat (3) Pasal 401 menuliskan sumber pendanaan kesehatan berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan sumber lain yang sah. Sumber pendanaan tersebut juga berlaku dalam pendanaan rumah sakit. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 406.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Muhammad Adib Khumaidi menilai kedua pasal tersebut membuat UU Kesehatan berorientasi pada investor. Menurutnya, kalimat "sumber lain yang sah" dapat diartikan sebagai pinjaman dan investasi.
Adib menilai, pendanaan kesehatan pada masa depan akan cukup tinggi. Dengan demikian, klausul pendanaan dari sumber lain yang sah akan dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan.
"Di situ ada potensi privatisasi sektor kesehatan. Padahal, permasalahan kita bukan di hilir, tapi di hulu," kata Adib di depan Gedung DPR, Selasa (11/7).
Adib menjelaskan permasalahan utama bidang kesehatan adalah produksi dokter. Namun, menurutnya, pemerintah justru membuka ruang di sisi pengobatan pasien.