PLN Diminta Tak Monopoli Hak Serifikat Energi Baru dan Terbarukan
Para pelaku industri energi terbarukan meminta PT Perusahaan Listrik Negara Tbk (PLN) tak memonopoli penerbitan Sertifikat Energi Baru Terbarukan (EBT) atau Renewable Energy Certificate (REC). Para pengusaha menilai, pihak swasta seharusnya dapat menerbitkan sertifikat selama tak diperjanjikan dalam perjanjian jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dan sudah mendaftarkannya di instrumen pasar REC.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa mengatakan PLN tidak bisa secara sepihak menjadi institusi tunggal yang berhak mengeluarkan REC untuk Perusahaan pembangkitan independen (IPP).
"IPP tidak boleh dipaksa oleh PLN untuk menyerahkan atribusi penurunan emisi dalam bentuk REC kepada PLN. Apa yang membuat PLN bisa memonopoli itu, aturannya tidak ada," kata Fabby saat dihubungi Katadata.co.id, pada Senin (15/8).
Dalam surat bernomor 43803/KEU.01.02/D01020300/2022 tertanggal 2 Agustus 2022, PLN menegaskan bahwa penerbitan REC dan sumber pembangkit renewable yang ada di sistem kelistrikan PLN (baik pembangkit PLN atau IPP) hanya dilakukan oleh PLN. BUMN kelistrikan ini juga menegaskan bahwa pihak IPP tidak diperkenankan melakukan penjualan atribut Green Energy secara langsung ke pasar.
Menurut Fabby, pihak swasta berhak mengeluarkan REC selama ketentuan yang tersebut tidak diatur dalam PPA. Namun, hal ini memang dapat berlaku lain jika pembangkit EBT yang sudah berkontrak dengan PLN dan produksi energinya dibeli oleh PLN dan disalurkan oleh PLN. "Maka yang berhak mengklaim REC dan berhak mengklaim atribusinya itu adalah PLN," jelas Fabby.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi. Dia mengatakan, selama tidak diperjanjikan di dalam PPA, maka pengembang listrik dari EBT dapat mengeluarkan sertifikat energi terbarukan selama pengembang tersebut sudah mendaftar di instrumen pasar REC. Artinya, selama tidak diatur di PPA, pengembang listrik dari EBT tetap bisa mengeluarkan sertifikat EBT untuk menjual energi hijau langsung ke pasar.
"Boleh dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kami semua peengembang panas bumi yang sudah berproduksi mendapatkan surat pemberitahuan dari PLN. REC ini kan barang baru, perlu duduk bersama untuk mendiskusikannya, perlu diskusi lanjutan antara asosiasi dengan PLN," kata Priyandaru melalui pesan teks pada Senin (16/8).
Praktik Green Washing
Fabby menilai, skema penerbitan REC oleh PLN adalah instrumen untuk praktik green washing karena tidak berkolerasi dengan pemambahan kapasitas listrik dari EBT. REC merupakan produk layanan PLN yang mengakomodasi keinginan perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan pengakuan bahwa listrik yang dimanfaatkannya bersumber dari EBT.
Ia juga menyoroti langkah PLN yang membatasi konsumen untuk menggunakan PLTS atap. PLN membatasi penggunaan PLTS Atap maksimal 15% dari kapasitas listrik yang terpasang. Ia pun meminta ketentuan REC diatur dalam RUU EBT yang kini tengah berproses.
"Misal ada industri yang menggunakan 3.000 kwh dan dia mau pasang PLTS Atap 3.000 kwh juga tapi enggak boleh sama PLN. Jadi seolah kamu saya izinkan hanya 15%, sisanya kamu beli REC dari PLN'. Ini yang namanya green washing," kata Fabby.
Ia mencontohkan dalam ajang Formula E, PLN menjual REC kepada pelaksanana Formula E . Padahal, menurut dia, listrik yang digunakan untuk mengisi energi mobil bukan berasal dari EBT. "Kan ini bukan mekanisme offset," ujarnya.
Fabby menjelaskan, REC seharusnya menjadi instrumen untuk meningkatkan porsi penggunaan listrik dari EBT. "Kekurangannya kemudian pakai dari REC, tapi REC itu harus datang dari pembangkit yang menghasilkan listrik dari EBT," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Vice President Komunikasi Korporat PLN, Gregorius Adi Trianto menyatakan REC merupakan inovasi produk hijau PLN untuk mempermudah pelanggan dalam mendapatkan pengakuan atas penggunaan EBT yang transparan, akuntabel, dan diakui secara internasional tanpa harus mengeluarkan biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur.
Energi yang digunakan pelanggan berasal dari pembangkit listrik berbasis EBT yang diverifikasi oleh sistem pelacak internasional, APX TIGRs yang berlokasi di California, Amerika Serikat.
Greg menjelaskan, pembangkit green energy milik PLN yang terdaftar di APX saat ini adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang dengan kapasitas 140 MW, PLTP Lahendong 80 MW dan PLTA Bakaru 130 MW, atau setara 2.500.000 MWh per tahun.
"Pelanggan yang lokasinya terpisah dari pembangkit green energy tersebut dimungkinkan juga menikmati layanan REC," kata Greg melalui pesan teks pada Senin (16/8).
Tak hanya dari pembangkit EBT milik PLN, menurut dia, sumber pasokan listrik untuk layanan REC juga dapat berasal dari pembangkit listrik EBT milik pengembang listrik swasta atau IPP yang menjual listriknya ke PLN. Dalam perjanjian jual beli tenaga listrik telah disepakati bahwa PLN sebagai pembeli atau offtaker atas seluruh tenaga listrik pembangkit EBT yang dijual dengan tujuan untuk memberikan kepastian pengembalian modal kepada kepada investor.
PLN pun berharap adanya komitmen dan kerja sama seluruh pengembang IPP untuk mendukung pelaksanaan aturan REC tersebut. PLN pun mengusulkan untuk membahas pengaturan lanjutan REC dalam Power Purchase Agreement (PPA) atau Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) dengan pengembang IPP EBT.