Mengukur Kondisi Perbankan Terkini Seiring Perluasan Kewenangan LPS
Pemerintah sudah dua kali 'kecolongan' mengetahui permasalahan pada perbankan saat diterpa krisis ekonomi yakni saat krisis keuangan Asia 1998 dan krisis keuangan global 2008. Kini, Indonesia sedang menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 yang tak kalah berat dan berpotensi merembet ke sektor keuangan melalui jalur perbankan.
Hal ini sepenuhnya disadari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Apalagi, ia juga berada di posisi yang sama saat krisis keuangan global 2008 yang berujung pada penyelamatan Bank Century. Saat itu, Sri Mulyani baru mengetahui kondisi sebenarnya bank tersebut hanya sepekan sebelum keputusan penyelamatan harus diambil.
"Pelajaran penting dalam situasi krisis sebelum ini dan menghadapi krisis akibat Covid-19 adalah kondisi tekanan krisis akan memunculkan potensi permasalahan pada sistem keuangan yang harus diwaspadai dan dideteksi dini," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi Kajian Reformasi Sistem Keuangan, akhir pekan lalu.
Salah satu langkah pemerintah untuk mendeteksi dini dan mencegah krisis Covid-19 merembet ke perbankan dan sistem keuangan adalah dengan memperluas kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan. Selama ini, LPS hanya berfungsi meminimalisasi kerugian negara jika ada bank yang mengalami kegagalan.
Lembaga yang lahir dari krisis 1998 ini baru dapat bertindak jika bank telah dinyatakan gagal. Namun, Sri Mulyani mengatakan pemerintah ingin agar peran LPS diperluas sehingga dapat turut meminimalisasi risiko bank gagal. Tugas ini sebelumnya hanya diemban oleh OJK sebagai pengawas perbankan dan BI sebagai penyedia likuiditas terakhir atau the lender of last resort.
"Pengawasan LPS akan diperkuat, terutama untuk early intervention hingga penempatan dana," katanya.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah menjelaskan salah satu yang kritikal bagi pihaknya adalah memperoleh informasi yang lebih cepat dan akurat tentang kondisi bank bermasalah sehingga dapat melakukan persiapan dan penanganan lebih cepat dan tepat. "Sehingga gangguan terhadap kondisi stabilitas sistem keuangan dapat dihindari," kata Halim kepada Katadata.co.id.
Adapun kewenangan LPS telah diperluas melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan Peraturan Pemerintan Nomor 3 Tahun 2020. Kewenangan yang diberikan kepada lembaga ini adalah dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank yang belum berstatus gagal.
LPS dapat mulai mempersiapkan penanganan bank sejak ditetapkan dalam pengawasan intesif. Untuk itu, OJK pun berkewajiban untuk memberikan pertukaran data dan/atau informasi kepada LPS, melakukan pemeriksaan bersama, dan kegiatan lain dalam rangka persiapan resolusi bank.
Jokowi melalui PP ini juga memberikan kewenangan LPS untuk melakukan penempatan dana pada bank yang mengalami masalah likuiditas dan terancam mengalami kegagalan. Dalam pasal 11 ayat 3 PP tersebut diatur total penempatan dana pada seluruh bank paling banyak 30% dari jumlah kekayaan bank. Penempatan dana pada satu bank paling banyak 2,5% dari total kekayaan LPS. Adapun periode penempatan dana paling lama satu bulan dan dapat diperpanjang paling banyak lima kali.
Meski PP sudah diterbikan sejak awal Juli lalu, Halim menyebut LPS belum menggunakan kewenangan tersebut terutama dalam hal penempatan dana. "Kewenangan sudah ada, tetapi belum ada yang memintanya," katanya.
Kondisi Perbankan Masih Aman
Kondisi likuiditas memang sempat menjadi kekhawatiran bagi industri perbankan di awal pandemi Covid-19. Apalagi, perbankan perlu melakukan restrukturisasi kredit guna membantu debitur yang kesulitan akibat terdampak wabah tersebut.
Namun, saat ini likuiditas perbankan justru terbilang longgar. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia, rasio kredit terhadap simpanan atau LDR perbankan pada semester pertama tahun ini hanya mencapai 81,9%. Posisi ini jauh lebih longgar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 94,84%.
Adapun penyebab LDR yang longgar adalah permintaan kredit yang masih lesu. Kredit perbankan hingga Juni hanya tumbuh 1,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal sebelum pandemi, kredit perbankan mampu tumbuh di atas 10%.
Likuiditas yang longgar juga terjadi hampir merata pada kelompok bank berdasarkan modal. Seluruh kelompok bank berdasarkan kategori bank umum kegiatan usaha memiliki rasio LDR di bawah 90%, kecuali kelompok BUKU III atau bank bermodal inti Rp 5 triliun hingga di bawah Rp 30 triliun sebesar 99,97%.
Rasio LDR yang selama ini dianggap aman oleh otoritas perbankan adalah sebesar 92% hingga 94%. Namun, pengecualian diberikan pada bank yang memiliki permodalan kuat. Adapun bank kelompok BUKU III memiliki rata-rata rasio kecukupan modal atau CAR mencapai 26,4%.
Sementara rasio CAR untuk keseluruhan industri perbankan hingga akhir Juni mencapai 22,55%, masih cukup tinggi dari rasio CAR paling minimum yang disyaratkan oleh otoritas sebesar 8%.
Rasio NPL perbankan hingga akhir Juni mencapai 3,11% secara bruto, naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu 2,5%. Sedangkan secara neto, NPL perbankan tercatat sebesar 1,16%.
Namun demikian, kondisi tersebut belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya lantaran OJK memberlakukan kelonggaran aturan perhitungan kualitas kredit selama pandemi Covid-19. Dampak nyata baru akan terlihat pada 2021 mendatang saat kelonggaran aturan OJK dicabut.
Bank Indonesia mencatat hingga Juni perbankan telah merestrukturisasi 16,7% dari total outstanding kredit perbankan yang mencapai Rp 5.617 triliun.
Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah menilai kondisi perbankan berdasarkan sejumlah indikator saat ini belum mengkhawatirkan dan dapat dikatakan aman meski pandemi sudah berlangsung selama enam bulan. Dengan demikian, menurut dia, rencana pemerintah memperluas kewenangan LPS bukan sinyal dari buruknya kinerja OJK.
"Pemerintah memang wajar berhati-hati karena jangan sampai tidak siap saat menghadapi krisis. Kekhawatiran pemerintah bukan cerminan Kinerja OJK tdk memuaskan," ujar Piter kepada Katadata.co.id, Senin (7/9).
Namun demikian, Piter menilai perluasan kewenangan LPS sebaiknya tak dilakukan jangka pendek dan secara emosional. "Bila itu yang terjadi, maka hasilnya tidak akan baik," ungkanya.
Ia juga menilai penempatan dana LPS ke perbankan sesungguhnya bertentangan dengan tujuan keberadaan lembaga tersebut yang harus siap siaga jika terjadi bank yang mengalami kegagalan.
Nahkoda Baru
Di tengah rencana pemerintah memperluas kewenangan LPS, lembaga tersebut bakal mendapat pemimpin baru. Presiden Joko Widodo telah menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa menggantikan Halim Alamsyah yang akan habis masa jabatannya pada 24 September mendatang.
Penunjukan Purbaya oleh Jokowi telah dilakukan melalui Keputusan Presiden. Hal ini telah dikonfirmasi oleh Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dan Direktur Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih. "Sudah ada Keppres-nya," ujar Lana kepada Katadata.co.id.
Namun demikian, Purbaya mengatakan Purbaya mengatakan belum ada pembicaraan terkait keputusan tersebut dengan pihak Istana. Hanya saja, ia mengaku pernah diwawancara oleh Menteri Keuangan.
"Belum ada pembicaraan. Saya hanya ingat pernah diwawancara Menteri Keuangan," ujar Purbaya kepada Katadata.co.id, Senin (7/9). Ia juga masih enggan menjawab ketika ditanya langkah ke depan memimpin LPS. Purbaya saat ini masih menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Sebelum menjabat sebagai deputi, ia merupakan Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Purbaya juga pernah menjadi deputi staf kepresidenan pada 2015 saat lembaga tersebut dipimpin oleh Luhut.
Berbeda dengan Halim yang sebagian besar kariernya dihabiskan di Bank Indonesia sebagai regulator di industri perbankan, Purbaya selama ini berkarier sebagai staf ahli dan ekonom. Ia juga pernah menjadi staf khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian saat dijabat oleh Hatta Rajasa serta kepala ekonom Danareksa.