Jalan Panjang Revisi UU BI di DPR, Berpotensi Pindah Jalur
Badan Legislasi DPR menyatakan revisi UU Bank Indonesia masih membutuhkan proses panjang. Pembahasan beleid ini juga berpotensi dihentikan jika Presiden Joko Widodo mendadak menerbitkan Perppu atau memutuskan untuk mengatur poin-poin perubahan UU BI dalam omnibus law.
Anggota Badan Legislasi DPR Hendrawan Supratikno mengatakan hingga saat ini belum ada pembahasan bersama pemerintah mengenai draf revisi UU BI. Seluruh draf masih disusun secara internal oleh panitia kerja dari Baleg DPR.
Pihaknya juga masih meminta masukan dari BI, OJK, LPS, Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan Badan Supervisi BI. Setelah proses tersebut rampung, Dewan akan mengajukan revisi UU BI dalam rapat paripurna sebagai inisiatif DPR.
Draf RUU kemudian disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, presiden akan mengeluarkan surat presiden untuk mengadakan pembicaraan tingkat satu dengan DPR. "Jadi masih sangat panjang," ujar Hendrawan kepada Katadata.co.id, Kamis (17/9).
Meski telah melalui proses panjang, draf revisi UU BI tak akan dibahas jika presiden secara mendadak mengeluarkan Perppu. "Konstelasi akan berubah lagi," kata dia.
Selain itu, masih ada kemungkinan perubahan pola jika tiba-tiba revisi UU BI dilakukan sekaligus dengan metode omnimbus law. Maka dari itu banyak faktor yang harus dicermati.
Berdasarkan draft aal RUU yang diterima Katadata.co.id, DPR mengusulkan dibentuknya dewan moneter yang terdiri dari lima anggota yakni Menteri Keuangan, satu orang menteri yang membidangi perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner OJK.
Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan dan bersidang sekurang-kurangnya dua kali dalam sebulan atau sesuai dengan kebutuhan yang mendesak. Keputusan dewan moneter nantinya diambil dengan musyawarah untuk mufakat. Apabila Gubernur tidak dapat memufakati hasil musyawarah dewan noneter, Gubernur BI dapat mengajukan pendapatnya kepada pemerintah
Selain pembentukan dewan moneter, draf revisi undang-undang tersebut juga mengatur keterlibatan pemerintah dalam keputusan rapat dewan gubernur yang diadakan setiap bulan. Pemerintah dapat mengirimkan perwakilan yakni seorang atau lebih menteri dibidang perekonomian yang memiliki hak bicara dan hak suara dalam rapat.
Rapat dewan gubernur bulanan antara lain memutuskan arah suku bunga acuan Bank Indonesia. Sepanjang tahun ini, BI telah memangkas bunga acuan sebesar 2% untuk membantu pemulihan ekonomi seperti terlihat dalam grafik di bawah ini.
Dengan adanya ikut campur pemerintah dalam menetapkan kebijakan moneter, pasal 9 dalam UU BI yang lama akan dihapus. Pasal tersebut mengatur independensi BI yantg berisi bahwa pihak lain tak dapat ikut campur dalam pelaksanaan tugas bank sentral.
Melalui draf RUU ini, DPR juga ingin mengembalikan tugas pengawasan bank dari OJK ke BI. Pengalihan tugas pengawasan bank ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2020. Sementara proses pengalihan akan dilakukan secara bertahap setelah memenuhi sejumlah syarat dan dilaporkan kepada DPR.
Menanggapi draf ini, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa pemerintah telah memastikan akan terus menjaga bank sentral tetap independen.
Hal tersebut, menurut Perry, telah ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani "Posisi pemerintah sudah jelas bahwa kebijakan moneter harus tetap kredibel, efektif. dan independen. Saya kira itu," kata Perry dalam konferensi virtual, Kamis (17/9).
Selain itu, Sri Mulyani juga telah memberikan pernyataan resmi bahwa pemerintah belum melakukan pembahasan dengan DPR terkait draf revisi UU tersebut.
Sebelumnya, Dosen DEB dan MM-UGM Anggito Abimanyu menilai perlu ada amandemen UU BI. Indonesia saat ini sedang dilanda krisis yang tidak biasa.
Menurut dia, independensi BI dalam menetapkan kebijakan moneter dan pilihan kebijakan pengaturan sektor jasa keuangan tetap harus dipertahankan.
"Namun, perlu disinkronkan dengan tujuan pembangunan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang," tulis Anggito dalam bahan paparannya kepada Badan Legislasi DPR.
Tujuan utama bank sentral saat ini yang hanya menjaga stabilitas makro ekonomi perlu ditambah yakni mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Koordinasi bank sentral dan pemerintah perlu diatur secara permanen dalam bentuk Dewan Kebijakan Ekonomi Makro melalui UU.
Selain itu, Anggito juga mendukung rencana DPR untuk mengembalikan kewenangan pengawasan bank dari OJK ke BI. Ia menilai penting untuk menggabungkan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial di Indonesia. Hal tersebut mengingat pengaturan keduanya sangat berkaitan.
Pasal 69 ayat (1) huruf (a) UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK menegaskan bahwa tugas BI dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan mikroprudensial. Sedangkan bank sentral tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait makroprudensial
"Dalam hal itu pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara independen oleh OJK karena makroprudensial dan mikroprudensial berkaitan," tulis Anggito.