Misi Sulit Melanjutkan Surplus BPJS Kesehatan Setelah Pandemi
Kabar baik datang dari BPJS Keuangan di tengah pandemi Covid-19. Asuransi negara ini memproyeksi surplus keuangan sebesar Rp 2,59 triliun pada tahun ini, pertama kalinya sejak dibentuk pada 2014.
Proyeksi surplus anggaran datang dari perkiraan penerimaan yang mencapai Rp 130,72 triliun dan pengeluaran sebesar Rp 128,28 triliun hingga akhir tahun ini. Ramalan itu tak berbeda jauh dibandingkan target yang dibuat perusahaan pada awal tahun yakni penerimaan sebesar 134,9 triliun dan pengeluaran Rp 132,46 triliun.
"Proyeksi surplus ini sudah memperhitungkan dampak pandemi Covid-19, kebutuhan penanganan bayi lahir dengan tindakan, dan asumsi penundaan pembayaran peserta penerima bukan upah," ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam rapat kerja dengan DPR, Kamis (17/9).
Masalah klasik tunggakan ke rumah sakit sudah tak terjadi lagi. Fachmi memastikan pembayaran klaim kini tepat waktu dan tak terjadi lagi gagal bayar.
Hingga 31 Agustus, BPJS Kesehatan telah membayarkan klaim sebesar Rp 71,34 triliun. Klaim dibayarkan kepada rumah sakit sebesar Rp 67,29 triliun, apotek atau farmasi sebesar Rp 3,14 triliun, klinik utama sebesar Rp 724,2 miliar, dan optik sebesar Rp 180,28 miliar.
"Memang masih ada utang klaim sebesar Rp 1,75 triliun tetapi belum jatuh tempo dan masih ada tagihan yang belum diverifikasi sebesar Rp 1,77 triliun," katanya.
Salah satu penolong keuangan BPJS Kesehatan adalah keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran peserta. Aksi pemerintah menaikkan iuran sempat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, kenaikan iuran kembali ditetapkan dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Besaran iuran peserta mandiri sesuai Perpres dapat dilihat dalam databoks di bawah ini.
Fahmi menjelaskan, banyak peserta iuran menurunkan kelas perawatan setelah Perpres Nomor 64 tahun 2020 berlaku. Salah satunya Reinhard, 25 tahun. Kenaikan iuran membuat pengeluaran Reinhard untuk asuransi sosial itu naik dari Rp 240 ribu menjadi Rp 600 ribu lantaran harus menanggung tiga anggota keluarga lainnya.
Ia pun memutuskan untuk menurunkan kepesertaan dari kelas 1 ke kelas 3 lantaran harus menghemat pengeluaran usai terkena pemutusan hubungan kerja akibat Pandemi Covid-19. "Kemarin akhirnya memutuskan untuk turun layanan dari kelas 1 ke kelas 3. Enggak sanggup untuk bayar iuran kelas 1," ujar Reinhard kepada Katadata.co.id, Jumat (18/9)
Reinhard mengaku berat untuk pindah kelas lantaran fasilitas layanan rawat inap antara kelas 1 dengan kelas 3 berbeda jauh. Namun, karena fasilitas dokter dan obat sama, keputusan untuk turun kelas akhirnya diambil demi menghemat pengeluaran
BPJS Kesehatan mencatat, jumlah peserta mandiri yang pindah dari kelas 1 ke kelas 2 sebanyak 209 ribu, lalu dari kelas 2 ke kelas 3 sebanyak 342 ribu, dan dari kelas 2 ke kelas 3 sebanyak 1,024 juta.
Di sisi lain, BPJS Kesehatan juga menerima kenaikan iuran pada peserta PBI yang dibayarkan pemerintah, serta peserta penerima upah yang dibayarkan pemerintah sebagai pemberi kerja dan swasta. Hingga Agustus, BPJS Kesehatan telah menerima pembayaran dari pemerintah sebesar Rp 36,45 triliun untuk pembayaran iuran peserta penerima bantuan iuran.
'Berkah' dari Pandemi
Sejak berdiri tahun 2014, BPJS Kesehatan selalu mencatatkan defisit anggaran. Hampir setiap tahun pemerintah harus menggelontorkan anggaran mencapai triliunan rupiah untuk menjamin keberlangsungan lembaga asuransi sosial ini.
Pemerintah pun berharap surplus BPJS Kesehatan berlanjut pada tahun depan. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021, pemerintah memproyeksi BPJS Kesehatan dapat mencatatkan surplus mencapai Rp 9,37 triliun. Sementara pada tahun ini, surplus diharapkan mencapai Rp 3,33 triliun.
Proyeksi surplus dalam dokumen nota keuangan tersebut sudah memperhitungkan kenaikan iuran berdasarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 serta penurunan kunjungan masyarakat ke rumah sakit pada Maret hingga Juni 2020 akibat pandemi Covid-19.
Ketua Dewan Pengawasan Chairul Radjab Nasution menjelaskan terjadi penurunan klaim rasio BPJS Kesehatan pada tahun ini. Namun, penurunan rasio klaim pada Juli dibandingkan Februari sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia hanya mencapai 4%. "Artinya, walaupun kedatangan pasien berkurang, biaya manfaat masih besar," ujar Chairul.
Ia menyebut terdapat potensi kenaikan klaim usai pandemi COvid-19. BPJS Kesehatan terutama harus mengantisipasi peningkatan keparahan penyakit katastropik peserta dan lonjakan kunjungan.
"BPJS Kesehatan harus mengevaluasi berkala utilisasi fasilitas kesehatan pada masa pandemi di setiap wilayah untuk mengantisipasi ini," jelas dia.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar juga menilai ada potensi defisit keuangan kembali terjadi pada tahun depan. Salah satunya, lantaran banyak peserta BPJS Kesehatan dengan penyakit berat yang menahan diri untuk menggunakan fasilitas kesehatan selama pandemi Covid-19.
Ia khawatir, usai pandemi reda, para peserta BPJS Kesehatan tersebut akan berbondong--bondong datang ke rumah sakit dengan penyakit yang lebih berat.
"Dari sisi penerimaan pada potensi penurunan karena peserta penerima upah yang dibayar badan usaha masih akan berat. Iuran peserta mandiri untuk kelas tiga juga akan naik jadi Rp 35 ribu, ini berpotensi menimbulkan tunggakan di kondisi saat ini," katanya.
Pengamat Asuransi Dedy Kristianto menilai BPJS Kesehatan akan sulit mempertahankan surplus yang mungkin terjadi pada tahun ini jika tak melakukan perubahan-perubahan mendasar, terutama dalam penanganan biaya. Kenaikan iuran yang sudah dilakukan pemerintah dinilai tak cukup.
"Untuk seimbang saja sulit kalau tidak ada perubahan. Pemerintah ujung-ujungnya harus menambal lagi BPJS Kesehatan," ujar Dedy kepada Katadata.co.id pada Jumat (18/9).
Menurut Dedy, ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan agar BPJS Kesehatan keluar dari penyakit menahun defisit keuangan.
Pertama, merealisasi rencana untuk mengubah kelas layanan peserta mandiri BPJS Kesehatan yang saat ini terdiri dari kelas 1, 2, dan 3 menjadi kelas standar. Ini diharapkan dapat menurunkan biaya klaim peserta yang saat ini yang antara lain dibebani oleh perbedaan kelas layanan.
Kedua, mengevaluasi manfaat untuk pasien dengan penyakit katastropik yang selama ini menjadi beban berat bagi BPJS Kesehatan. Total terdapat 19,99 juta kasus penyakit katastropik selama tahun 2019 yang memakan anggaran BPJS Kesehatan Rp 20,28 triliun.
Ketiga, menerapkan kordinasi manfaat coordination of benefit dengan perusahaan asuransi swasta. "Ini sebenarnya sudah pernah dijajaki BPJS tapi mandek karena beberapa hal," ujarnya.
Dedy menilai CoB dengan perusahaan swasta penting untuk meringankan beban klaim BPJS Kesehatan. Tanpa CoB, banyak peserta yang akan memilih menggunakan BPJS Kesehatan terutama untuk penyakit berat agar ditanggung sepenuhnya.
Sekretatis Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menjelaskan pemerintah saat ini tengah merumuskan kelas standar untuk menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 bagi peserta mandiri. Dengan demikian, peserta mandiri hanya akan berada dalam satu kelas layanan dan tarif.
Adapun perubahan kelas standar berada di bawah koordinasi Dewan Jaminan Sosial Nasional. Lalu, DJSN melibatkan sejumlah pihak yakni Kemenkes sendiri, BPJS Kesehatan, Kementerian Keuangan, kalangan akademisi, perhimpunan dan asosiasi rumah sakit.
"Perumusan meliputi konsep dan kriteria kelas standar yang akan diberlakukan dalam jaminan kesehatan nasiona," ujarnya.
Rencananya, penyusunan rancangan paket manfaat JKN berbasis KDK dan rawat inap kelas standar dilakukan pada Januari hingga September tahun ini. Lalu pada Oktober hingga Desember, proses legal dari aturan tersebut akan dimatangkan.
Setelah itu, dilakukan pembahasan rancangan revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan oleh internal Kemenkes. Selanjutnya, harmonisasi revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 hingga penetapannya oleh Presiden Joko Widodo Terakhir, implementasi bertahap dilakukan mulai awal 2021 hingga akhir 2022.