Konsumsi Pemerintah Melejit, Sri Mulyani Ramal Ekonomi Masih Kontraksi
Kementerian Keuangan memperkirakan belanja pemerintah pada Juli-September 2020 tumbuh lebih cepat dibandingkan tiga bulan sebelumnya. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi ekonomi pada kuartal III lebih buruk dari perkiraan awal.
Sri Mulyani menyebut perekonomian pada tiga bulan terakhir ini berpotensi negatif hingga 2,9%. Meski konsumsi pemerintah diproyeksi naik hingga 17% pada periode tersebut, komponen pertumbuhan ekonomi lainnya masih tercatat negatif.
"Konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor masih negatif," ujar Sri Mulyani dalam konferensi virtual, Selasa (22/9).
Konsumsi rumah tangga diramal terkontraksi 1,5% hingga 3%. Perkiraan tersebut sedikit membaik dibandingkan realisasi kuartal II 2020 yang sebesar minus 5,51%.
Pembentukan modal tetap bruto yang menjadi indikator investasi diperkirakan Sri Mulyani terkontraksi di kisaran 8,5% hingga minus 6,6%. Investasi sedikit lebih baik meski masih lemah, tercermin dari indikator aktivitas bangunan, impor barang modal, dan penjualan kendaraan niaga. Perbaikan aktivitas ekonomi yang masih tertahan membuat investor masih wait and see.
Kemudian, ekspor diproyeksikan masih akan terkontraksi 8,7% hingga 13,9%. Impor pun kemungkinan minus 16% hingga 26,8%. "Impor ini dalam sekali dan harus menjadi perhatian," kata Sri Mulyani.
Ia menjelaskan perdagangan internasional yang masih terbatas menyebabkan penurunan ekspor dan impor secara curam. Kondisi di sisi produksi juga masih tertahan. Meski demikian, perbaikan PMI mempengaruhi manufaktur dan perdagangan yang membaik walaupun masih tumbuh negatif.
Di sisi lain, aktivitas pariwisata masih rendah sehingga menekan sektor transportasi, hotel, dan restoran. Namun, sektor pertanian, infromasi, komunikasi, dan berbagai sektor jasa mampu tumbuh positif.
Secara keseluruhan, Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan negatif 0,6% hingga 1,7%. Ini karena ada kemungkinan pertumbuhan negatif masih akan berlangsung pada kuartal IV 2020. "Namun akan kami usahakan bisa mendekati positif atau 0%," ujar dia.
Dia memerinci, konsumsi rumah tangga seluruh tahun kemungkinan berada di antara negatif 1% hingga 2,1% , konsumsi pemerintah masih bisa bertumbuh 0,6% hingga 4,8%, PMTB kontraksi 4,4% hingga 5,6%. Lalu, ekspor minus 5,5% hingga 9%, dan impor terkontraksi 11,7% hingga 17,2%.
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menilai kontraksi ekonomi pada kuartal III sudah dapat diperkirakan dari kinerja konsumsi rumah tangga yang masih lemah tercermin dari data penjualan dan keyakinan konsumen. Indikator penjualan ritel masih berada pada area negatif meski membaik pada Agustus. Keyakinan kosumen juga masih berada di area pesimis.
"Kalau melihat dari kontribusi memang belanja pemerintah ini kontribusinya relatif kecil jika dibandingkan dengan konsumsi dan investasi," katanya.
Ekonom senior INDEF Faisal Basri sebelumnya juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2020 akan minus 3%. Ini masih lebih baik dari realisasi kuartal kedua yang terkontraksi sebesar 5,32%.
Konsumsi masyarakat yang masih lemah menjadi penyebab utama kontraksi ekonomi. Masyarakat menahan diri untuk tak berbelanja mengingat ketidakpastian ekonomi masih besar. Komponen penyumbang 57,85% terhadap Produk Domestik Bruto ini belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Konsumsi yang lemah juga terlihat dari penjualan mobil yang masih minus 50% untuk periode Januari-Juli tahun ini dan pariwisata minus 80% dibandingkan tahun kemarin. “Masyarakat meskipun ekonomi mulai membaik, terjadi perubahan pola pikir,” kata Faisal dalam Rapat Pendapat Umum bersama Komisi VI DPR, Senin (31/8).
Dengan proyeksi kontraksi pada kuartal III, ekonomi Indonesia akan resmi masuk ke jurang resesi. Adapun Badan Pusat Statistik akan merilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal III pada 5 November 2020.
Bank Mandiri sebelumnya memproyeksi ekonomi Indonesia baru akan mulai tumbuh positif pada kuartal pertama tahun depan. Sepanjang 2021, ekonomi Indonesia diproyeksi tumbuh 5%.