Sinyal Meredupnya Peluang Pengawasan Bank Kembali ke BI saat Pandemi

Agatha Olivia Victoria
28 September 2020, 19:49
reformasi sistem keuangan, pengawasan OJK-bI, pengawasan perbankan, OJK, LPS, Sri Mulyani, Krisis keuangan, BI
123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi. Penguatan sistem pengawasan pada perbankan menjadi salah satu tujuan penerbitan Perppu terkait reformasi sistem keuangan mendesak untuk dilakukan.

Pemerintah tengah menggodok Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang terkait reformasi sistem keuangan. Tujuannya mengantisipasi badai yang mungkin terjadi pada sektor finansial akibat Pandemi Covid-19.

Salah satu wancana yang berkembang terkait poin dalam Perppu tersebut adalah pengembalian kewenangan pengawasan bank dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia. Namun, potensi perubahan kewenangan tersebut meredup dalam rancangan perppu. 

Advertisement

Gubernur BI Perry Warjiyo menilai penguatan perbankan yang menjadi salah satu tujuan penerbitan Perppu terkait reformasi sistem keuangan memang mendesak untuk dilakukan. Salah satu poin yang cukup penting untuk diatur dalam Perppu adalah terkait intervensi lebih dini dalam penanganan bank sebelum gagal oleh Lembaga Penjamin Simpanan.

"Jadi bagaimana LPS dapat melakukan manajemen risiko lebih baik. Kalau ada bank yang cenderung solvent  tentu BI dapat memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) dan LPS dapat melakukan penanganan bank yang insolvent tentu dalam forum pengawasan perbankan terpadu," ujar Perry dalam rapat kerja dengan DPR melalui konferensi video, Senin (28/9). 

BI hanya dapat menempatkan dana pada bank yang memiliki posisi permodalan sehat atau solvent. Sementara LPS dalam peraturan perundang-undangan hanya dapat menangani bank yang sudah ditetapkan gagal. Namun, kewenangan LPS telah diperluas oleh Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 yakni dapat menyelamatkan bank sebelum gagal, termasuk melalui penempatan dana.

Melaui Perppu, mandat Bank Indonesia juga perlu ditambah tak hanya menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah tetapi  mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan BI tetapi perlu dipertegas melalui ketentuan. perundang-undangan. "Perlu juga pengaturan yang lebih dalam berkaitan dengan proses-proses yang disepakati terkait PLJP dengan indikator yang sama dan memang fokusnya pada penguatan pengawasan perbankan," katanya. 

Adapun terkait dengan penataan kembali kewenangan OJK dan BI terkait pengawasan perbankan, Perry menilai sebaiknya tak dilakukan pada tahun ini karena situasi ekonomi yang tengah tak pasti. Keyakinan pasar keuangan perlu dijaga di tengah pandemi. "Sekarang kondisi ekonomi sedang susah. Confidence perlu dijaga agar kondisi resesi tidak merembet sehingga untuk saat ini waktunya kurang tepat" katanya. 

Kendati demikian, menurut Perry, bukan berarti penataan lembaga menjadi tak penting. Sektor keuangan di Tanah Air saat ini juga belum sempurna. "Pada waktunya kita bisa kembali diskusi terkait penataan lembaga ini. Apakah tetap di OJK dengan dilakukan penguatan atau apakah seperti Bank of England. Mungkin tahun depan, saat kepala lebih dingin," katanya. 

Inggris merupakan negara yang gagal menerapkan pemisahan pengawasan moneter dan perbankan. Pemisahan pengawasan dinilai menjadi penyebab negara tersebut gagal mendeteksi masalah pada sistem perbankan dan menyebabkan kejatuhan sejumlah bank besar pada krisis 2008. Pemerintah Inggris kemudian membubarkan Otoritas Jasa Keuangan dan mengembalikan fungsi pengawasan perbankan kepada bank sentral.

Perry mengatakan sudah dua kali diundang pemerintah untuk memberikan pandangan umum terkait Perppu. Namun, rancangan Perppu sepenuhnya dirumuskan oleh pemerintah. 

Kendati demikian, ia mengingatkan perubahan yang dapat menciptakan ketidakpastian di tengah Pandemi Covid-19 dapat memberikan sentimen negatif pada sistem keuangan. Perry menyebut sempat terjadi goncangan di sektor keuangan akibat polemik independensi BI pada awal September 2020. Ini tercermin dari nilai tukar yang melemah serta imbal hasil surat berharga negara yang melonjak dari level 6,6% menjadi 6,8%.

"Pak Presiden sudah memastikan independensi BI tak akan diganggu," ujarnya. 

BI mencatat yield SBN 10 tahun berada di level 6,89% pada Jumat pagi (25/9). Sementara kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate pagi ini menempatkan rupiah pada level Rp 14.959 per dolar AS, turun 8 poin.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agustiyanti
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement