Kekhawatiran Gejolak Sistem Keuangan Akibat Tren Shadow Banking

Agustiyanti
13 November 2020, 19:46
otoritas jasa keuangan, shadow banking
deniskot/123rf
Bank Indonesia menyebut, praktik perbankan bayangan atau shadow banking menjadi salah satu risiko dari penggunaan layanan fintech pembayaran terus meningkat.

Regulator mulai mewaspadai pesatnya perkembangan perusahaan teknologi yang merambah ke sektor keuangan. Otoritas Jasa Keuangan mendeteksi keberadaan transaksi perbankan bayangan atau shadow banking berupa penjualan produk perbankan oleh perusahaan nonbank.

"Ada produk bank yang diberikan oleh nonperbankan. Ini satu hal yang seharusnya tidak dianggap enteng dan disebut dengan shadow banking," ujar Ketua OJK Wimboh Santoso dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Kamis (13/11).

Advertisement

Ia menjelaskan, perbankan diatur dengan regulasi yang ketat, modal mahal, dan prosedur kehati-hatian yang lengkap sehingga lebih aman. Perbankan juga diawasi oleh regulator secara ketat.

"Kalau perusahaan nonbank atau nonkeuangan, pasti pengawasannya tidak seketat bank atau keuangan. Kalau masih kecil mungkin masih oke, tetapi kalau menjadi besar akan menjadi isu," katanya.

OJK mencatat nilai akumulasi penyaluran pinjaman dari fintech peer to peer lending di Indonesia per September 2020 mencapai Rp 128,70 triliun. Pertumbuhannya melesat 113,05% secara tahunan. Padahal, kredit perbankan tengah lesu dan hanya tumbuh 0,12% pada periode yang sama.

Dalam publikasi IMF berjudul "Shadow Banking: Out of the Eyes of Regulator", perbankan bayangan melambangkan salah satu dari banyak kegagalan sistem keuangan yang mengarah pada krisis keuangan global. Istilah "bank bayangan" diciptakan oleh ekonom Paul McCulley dalam pidato 2007 di simposium keuangan tahunan yang diselenggarakan oleh Federal Reserve Kansas City di Jackson Hole, Wyoming.

Dalam pembicaraan McCulley, shadow banking di AS secara khusus diindektikkan dengan lembaga keuangan nonbank yang menerapkan maturity transformation atau menarik dana/investasi jangka pendek untuk pembiayaan atau investasi jangka panjang.

Bank-bank bayangan tersebut mengumpulkan, yang kebanyakan meminjam dana jangka pendek di pasar uang dan menggunakan dana tersebut untuk membeli aset dengan jangka waktu yang lebih panjang.

"Namun, mereka tidak tunduk pada peraturan bank tradisional, mereka tidak dapat meminjam dari Federal Reserve dalam keadaan darurat dan tidak memiliki deposan tradisional yang dananya dilindungi oleh asuransi. mereka berada di "bayang-bayang"," ujar Asisten Direktur Institut Pengembangan IMF Laura Kodres dalam publikasi tersebut.

Laura menyebut sulit mengukur besarnya sistem bank bayangan karena banyak entitas tidak melapor kepada regulator pemerintah. Hal ini membuat otoritas juga sempat kesulitan mengukut tingkat risikonya jika terjadi kegagalan.

Menjelang krisis keuangan global, praktik bayang-bayang oleh perbankan atau di luar regulasi menjadi yang terbesar di AS, tetapi praktik shadow banking dalam bentuk penyaluran kredit oleh lembaga nonbank lebih banyak terjadi di negara lain, terutama Tiongkok.

Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir berupaya menekan praktik shadow banking  yang berkembang pesat dan menimbulkan permasalahan.  Dikutip dari CNN, permasalahan antara lain terjadi pada 2018 saat ratusan penyedia jasa pinjam meminjam berbasis teknologi atau fintech peer to peer landing gagal mengembalikan dana investor.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement