Sri Mulyani: Produktivitas Negara Bisa Naik dengan Kesetaraan Gender
Kesempatan perempuan untuk mengambil peran dalam perekonomian suatu negara cenderung lebih sedikit daripada laki-laki. Padahal, studi McKinsey menunjukan bahwa perekonomian suatu negara bisa melesat kencang jika ketimpangan gender dapat diatasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, studi tersebut juga menunjukkan bahwa kesetaraan gender berpotensi meningkat produktivitas global mencapai US$ 28 triliun atau 26% dari Produk Domestik Bruto. "Sebuah angka yang tidak kecil," ujar Sri Mulyani dalam acara Menuju Planet 50:50 Kontribusi Bisnis pada Pencapaian SDG'5 yang diselenggarakan Katadata.co,id, Rabu (16/12).
Namun, menurut Sri Mulyani, meningkatkan partisipasi perempuan dalam perekonomian tidak mudah. Dari sisi biologis, perempuan akan mengalami proses reproduksi paling tidak selama sembilan bulan untuk mengandung, belum lagi kebutuhan waktu untuk merawat dan membesarkan anak.
Kondisi ini, menurut Sri Mulyani, menyebabkan posisi perempuan dan laki-laki tidak sama dalam memilih pekerjaan. Oleh karena itu, berbagai kebijakan harus mampu mengenali perbedaan kebutuhan tersebut tanpa menciptakan diskriminasi.
Badan Pusat Statistik mencatat hanya, 30,63% dari 100 perempuan yang memiliki peranan dalam mengambil keputusan pada tahun 2019, sedikit lebih baik dari tahun sebelumnya yang 28,97%. "Ini artinya mayoritas posisi pengambilan keputusan di semua hal politik, ekonomi maupun sektor publik adalah laki-laki," kata Sri Mulyani.
Dengan kebijakan yang tepat, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menilai perempuan bisa menyumbangkan peran yang lebih besar terhadap perekonomian. Hal itu tentunya akan menguntungkan bagi sebuah bangsa atau perekonomian.
Dewan Pembina Indonesia Business Coalition for Women Empowerment Shinta Kamdani mengatakan, kesenjangan gender dalam partisipasi dan kesempatan ekonomi serta pemberdayaan politik di Indonesia masih besar. "Ini masih menjadi faktor utama yang menghambat kemajuan Indonesia dalam mencapai kesetaraan gender," kata Shinta dalam kesempatan yang sama.
Meski begitu, Indonesia berhasil mempersempit kesenjangan gender sebanyak kurang lebih 8% terutama di bidang pendidikan dan kesehatan dalam kurun 12 tahun. Hal tersebut tercermin dari skor kesetaraan gender Indonesia yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) yang sebesar 0,7 pada 2020, sedikit naik dari 0,647 pada 2008.
Selain itu, Shinta mengatakan diskriminasi terhadap perempuan terlihat pada pemberian upah. "Perempuan cenderung mendapat upah lebih rendah dibanding laki-laki dengan beban kerja yang sama," ujar dia.
Dengan adanya pandemi Covid-19, sejumlah sektor ekonomi terpukul yang berujung pada pemecatan karyawan hingga perusahaan gulung tikar. Agenda penerapan kesetaraan gender pun mendapat tantangan. Apalagi sebelum pandemi, laporan WEF pada 2019 menyebutkan kesetaraan gender di tempat kerja belum banyak terpenuhi. Bahkan, laporan itu mengungkapkan butuh 257 tahun untuk mencapai kesetaraan gender yang ideal.
Di masa pandemi Covid-19, laporan WEF yang mengutip riset Caitlyn Collins, asisten profesor di Washington University, menuliskan bahwa pekerja perempuan yang telah berkeluarga menghadapi banyak kesulitan membagi waktu antara bekerja, mengurus rumah, dan mengurus anak.
Ini membuat perempuan pekerja terpaksa mengurangi jam kerja hingga 5% atau setara dengan dua jam per minggu karena harus melakukan pekerjaan domestik tatkala aturan stay at home berlaku. Sementara para suami, berkerja dari rumah seperti biasa dengan jam kerja yang sama dengan bekerja di kantor
Akibatnya, perusahaan melihat adanya ketidakefektifan pekerja perempuan yang harus bekerja di rumah, “Sehingga banyak perusahaan melihat pengurangan jam kerja, yang berarti mengurangi upah perempuan,” kata Collins seperti dikutip dari weforum.org.