Belanja Daerah Tetap Minim, Dana Mengendap di Perbankan Rp 218 T
Kementerian Keuangan mencatat dana pemda yang mengendap di perbankan hingga akhir November 2020 masih mencapai Rp 218,6 triliun. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara berharap dana tersebut segera dibelanjakan guna membantu pemulihan ekonomi di tengah pandemi.
"Ini jika dibelanjakan, dapat menjadi basis pertumbuhan ekonomi yang baik pada 2021," kata Suahasil di Jakarta, Senin (21/12).
Kendati masih cukup besar, dana pemda yang menganggur di perbankan tersebut menurun 11,66% dari posisi Oktober 2020 dan lebih rendah dari porisis November 2019 sebesar Rp 238,8 triliun. Dana tersebut pun diperkirakan semakin menurun pada Desember.
Suahasil menduga banyak pemerintah daerah baru menarik sebagian besar dananya untuk berbelanja pada kuartal IV 2020. Realisasi total belanja daerah hingga November 2020 tercatat Rp 823,59 triliun mencapai 76,21% dari pagu Rp 1.080,71 triliun. Realisasi tersebut secara persentase sedikit lebih baik dibandingkan November 2019 yang sebesar 71,6%, tetapi secara nominal turun Rp 65,83 triliun.
Sementara itu, realisasi pendapatan daerah hingga November 2020 tercatat sebesar Rp 978,53 triliun atau 92,36% dari target Rp 1.050,43 triliun. Capain itu lebih baik dari tahun 2019 Rp 1.024,8 triliun atau 85,93% meski secara nominal turun hingga Rp 46,27 triliun.
Realisasi pendapatan asli daerah yang turun 9,6% tersebut antara lain karena anjloknya penerimaan pajak terkait mobilitas dan konsumsi penduduk seperti pajak hotel, restoran, pajak kendaraan bermotor, Pajak atas Penggunaan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Suahasil menyebutkan bahwa terdapat anggaran penanganan Covid-19 dalam belanja daerah sebesar Rp 72,45 triliun. Namun, hingga saat ini baru terealisasi Rp 35,37 triliun atau 48,8%. "Pemda perlu mengakselerasi realisasi anggaran penanganan Covid-19 khususnya untuk bansos dan ekonomi," ujar dia.
Secara perinci, realisasi tersebut meliputi belanja kesehatan Rp 16,93 triliun, jaring pengaman sosial Rp 14,83 triliun, dan dukungan ekonomi Rp 3,59 triliun.
Dia menjelaskan bahwa terdapat beberapa kendala yang dihadapi pemda dalam memberlanjakan dana penanggulangan pandemi antara lain kesulitan komunikasi dan koordinasi dengan pihak terkait seperti Satuan Tugas dan pemda lain. Kemudian, waktu pelaksanaan tender untuk program atau kegiatan relatif sempit dan pengawasan pelaksanaan program yang belum cukup kuat.
Meski begitu, saat ini pemda terus membangun kominikasi dan koordinasi intensif dengan seluruh pihak. Tujuannya, agar pelaksanaan kegiatan dapat terealisasi serta memperkuat pengawasana dengan dibantu aparat eksternal.
Ekonom Senior Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan dana pemda yang mengendap di bank merupakan masalah klasik sejak sebelum pandemi. Penumpukan dana pemda di bank disebabkan oleh beragam hal, seperti petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan proyek untuk menggunakan belanja modal yang kerap berubah-ubah, proses tender yang cukup panjang, hingga aturan penggunaan anggaran yang terlalu kaku.
Saat pandemi, masalahnya juga masih sama. "Karena Covid-19 merupakan sesuatu yang baru, beberapa anggaran belanja daerah juga akhirnya dilakukan penyesuaian," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Senin (21/12).
Dengan aturan yang sangat kaku, pemda akhirnya tidak sepenuhnya berani dalam mengambil keputusan untuk mengeksekusi belanja. Akhirnya, proses belanja pemda kembali seperti sebelum pandemi, pengeluaran tidak bisa cepat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah Indonesia.
Pemerintah mencatat realisasi belanja negara secara keseluruhan lebih baik dibandingkan belanja daerah. Hingga akhir November 2020, realisasinya mencapai Rp 2.306,7 triliun, naik 12,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.