Resep Menumbuhkan Kredit Bank saat Pandemi Berkepanjangan
- Penyaluran kredit pada akhir 2020 terkontraksi 2,41% dibandingkan akhir 2019
- Perbankan menargetkan kredit tumbuh 6,5% hingga 8,5%.
- Otoritas Jasa Keuangan akan melonggarkan kebijakan penyaluran kredit properti, kendaraan bermotor, dan kesehatan.
Pandemi Covid-19 memukul penyaluran kredit perbankan pada tahun lalu hingga minus 2,41% dibandingkan 2019. Ini pertama kalinya kredit perbankan turun sejak krisis moneter 1998. OJK mematok pertumbuhan kredit perbankan pada tahun ini 6,5% hingga 8,5%. Sejumlah aturan penyaluran pinjaman akan dilonggarkan demi memacu permintaan.
"Kami pada tahun ini akan memprioritaskan percepatan program pemulihan ekonomi, bagaimana kami dapat mendukung dari sisi sektor keuangan," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan, akhir pekan lalu.
Wimboh menjelaskan, penyaluran kredit pada tahun lalu terkontraksi karena banyak perusahaan besar yang belum beroperasi normal akibat Pandemi Covid-19. Akibatnya, tak banyak permintaan modal kerja dari korporasi.
"Pada tahun lalu, bank-bank BUMN dan BPD masih mencatatkan pertumbuhan kredit. Namun, bank swasta dan asing mencatatkan penurunan penyaluran terutama karena kredit korporasi," katanya.
OJK mencatat kredit pada segmen korporasi pada Desember 2020 turun 3,4% dibandingkan akhir 2019 menjadi Rp 2.845,77 triliun. Sementara kredit UMKM, menurut Wimboh, mulai membaik dengan pertumbuhan positif month on month dalam beberapa bulan terakhir tahun lalu.
"Kami harapkan ini hanya sementara. Begitu permintaan pulih dan korporasi beroperasi 100%, perbankan mampu mendukung," kata Wimboh.
Kemampuan perbankan untuk menyalurkan kredit terlihat dari posisi likuiditas yang longgar dan permodalan yang kuat pada akhir tahun lalu. Loan to deposit ratio atau LDR hanya mencapai 82,2%, sedangkan capital to adequate ratio atau CAR berada di atas 23%. "Ekses likuiditas perbankan pada tahun lalu mencapai Rp 2.111 triliun, jauh lebih besar dari tahun sebelumnya Rp 1.251 triliun," katanya.
Perbankan, menurut Wimboh, saat ini juga telah menurunkan suku bunga kredit, terutama pada jenis kredit investasi dan modal kerja. Berdasarkan catatan OJK, rata-rata suku bunga dasar kredit pada November 2020 untuk segmen korporasi telah turun 0,91% dibandingkan akhir 2019 menjadi 8,6%, ritel turun 0,94% menjadi 8,8%, mikro turun 0,61% menjadi 7,2%, dan KPR turun 0,69% menjadi 8,6%.
Kualitas kredit, menurut Wimboh, juga terjaga tercermin dari rasio kredit bermasalah atau NPL bruto yang berada pada level 3,06%. Meski naik dari 2,53% pada akhir 2019, ini masih jauh di bawah ambang batas NPL 5% yang ditetapkan regulator. NPL secara nett pada akhir tahun lalu bahkan turun dari 1,19% pada 2019 menjadi 0,98%.
Wimboh menjelaskan, kualitas kredit yang terjaga antara lain berkat kebijakan restrukturisasi kredit dan stimulus pemerintah. Hingga akhir tahun lalu, kredit yang direstrukturisasi perbankan telah mencapai Rp 971 triliun.
Memacu Kredit Properti dan Kendaraan
OJK berupaya memacu penyaluran kredit melalui sejumlah pelonggaran kebijakan pada tahun ini. Wimboh menyebut, relaksasi akan dilakukan dengan menurunkan bobot risiko dalam perhitungan aset tertimbang menurun risiko atau ATMR kredit properti dan kredit kendaraan bermotor.
Lembaga supervisi ini juga akan memberikan kelonggaran bobot risiko ATMR dan batas maksimum pemberian kredit atau BMPK untuk kredit di sektor kesehatan. "Kelonggaran ini untuk memberikan ruang bagi sektor kesehatan berkontribusi terhadap penanganan pandemi Covid-19. Detail kebijakan akan kami jelaskan terpisah," kata Wimboh.
Selain itu, Wimboh telah memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit hingga Maret 2020. Insentif pemerintah berupa subsidi bunga dan penjaminan kredit UMKM dan Korporasi dipastikan akan terus berjalan.
Dengan perpanjangan restrukturisasi kredit, menurut Wimboh, debitur dapat secara berulang mengajukan restrukturisasi kredit sepanjang masih memiliki prospek usaha. Perbankan pun diminta tak membebani debitur dengan biaya yang berlebihan. “Relaksasi aturan restrukturisasi harus dipandang sebagai kebijakan yang win-win solution dan terukur, sehingga tidak deadlock.” katanya.
Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo menjelaskan, tren permintaan restrukturisasi kredit telah melandai sejak akhir tahun lalu. Hingga November 2020, 95% debitur yang kreditnya direstrukturisasi mampu memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian. "Namun, kami akan me-review sebagian besar dari pinjaman yang direstrukturisasi pada kuartal I dan II tahun ini, mengingat sebagian besar jangka waktu restrukturisasi satu tahun," kata Haru kepada Katadata.co.id.
Haru memperkirakan kredit BRI akan tumbuh lebih baik tahun ini pada rentang 6% hingga 7%, didorong oleh segmen UMKM, khususnya mikro. "Pelonggaran ATMR dapat memberikan ruang bagi perbankan untuk meningkatkan penegrasi bisnis ke sektor UMKM dan konsumer seiring mulai pulihnya permintaan," ujarnya.
Berdasarkan laporan bulanan BRI, penyaluran kredit perseroan hingga November 2020 tumbuh 2,47% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 874,59 triliun. OJK mencatat kredit bank-bank BUMN pada tahun lalu masih berhasil tumbuh 0,63%. Kredit BPD tumbuh 5,22%, sedangkan kredit swasta turun 4,92%, dan bank asing anjlok 22,73%.
Direktur Konsumer CIMB Niaga Lani Darmawan menilai kebijakan OJK melonggarkan ATMR dapat medorong penyaluran KPR dan KKB. Porsi segmen ritel dan UMKM terhadap kredit keseluruhan CIMB Niaga saat ini mencapai 30%. "Kami menargetkan KPR pada tahun ini dapat tumbuh 6% hingga 8%, sedangkan kredit kendaraan bermotor melalui anak usaha akan tumbuh 10%," kata Lani kepada Katadata.co.id.
Ekonom BCA David Sumual memperkirakan penyaluran kredit perbankan pada tahun ini akan tumbuh sesuai harapan OJK. Selain kondisi ekonomi yang lebih baik, kredit akan tumbuh karena total penyaluran pada tahun lalu yang terkontraksi. "Langkah OJK menurunkan ATMR, saya pikir positif. Permintaan untuk barang tahan lama, seperti properti dan kendaraan memang diharapkan meningkat," kata David kepada Katadata.co.id.
Konsumsi masyarakat kelompok menengah bawah, menurut David, sudah mulai meningkat. Namun, permintaan menengah atas masih terbatas meski kelompok ini masih memiliki daya beli. Ia pun khawatir pengetatan Pembatasan Sosial Berskala Besar kembali membatasi belanja menengah atas. "Karena itu dibutuhkan langkah untuk menstimulasi belanja menengah atas, termasuk pada properti dan kendaraan," ujarnya.
Pertumbuhan sektor properti dan kendaraan bermotor berpotensi memberikan dukungan lebih besar bagi pemulihan ekonomi. Kedua sektor ini, menurut dia, memiliki efek berganda yang lebih besar dibandingkan sektor lain. "Tetapi yang terpenting memang kepercayaannya harus didorong agar permintaan pulih," katanya.
Di sisi lain, ia mengingatkan agar pemerintah mengantisipasi lonjakan permintaan yang mungkin timbul akibat konsumsi yang tertahan. Hal ini berpotensi meningkatkan inflasi karena pabrik yang sebelumnya telah menurunkan kapasitas akibat permintaan yang lesu. "Kalau suplai tidak siap, inflasi dikhawatirkan meningkat," katanya.
Adapun survei Bank Indonesia memperkirakan kebutuhan pembiayaan korporasi terindikasi meningkat pada kuartal I 2021 tercermin dari saldo bersih tertimbang sebesar 17,1%. Peningkatan kebutuhan pembiayaan terutama terjadi pada sektor industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan untuk mendukung aktivitas operasional.
Survei juga mencatat terdapat sejumlah sektor yang mengalami perlambatan kebutuhan pembiayaan, seperti sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, serta penurunan seperti sektor pertambangan dan penggalian. Sebanyak 78,5% responden korporasi berencana menggunakan pembiayaan untuk mendukung aktivitas operasional, 39,2% untuk mendukung pemulihan permintaan domestik pascapenerapan normal baru, dan 22,3% mendukung aktivitas investasi.
Di sisi lain, survei menunjukkan penambahan pembiayaan rumah tangga pada tiga dan enam bulan mendatang diindikasikan masih terbatas. Pengajuan kredit paling banyak diperkirakan terjadi pada jenis kredit multi guna.
Survei juga memperkirakan, penyaluran kredit baru kembali meningkat pada Januari 2021. Hal tersebut terindikasi dari SBT perkiraan penyaluran kredit baru Januari 2021 sebesar 53,1% yang lebih tinggi dibandingkan SBT perkiraan penyaluran kredit baru Desember 2020 sebesar 42,8%. Berdasarkan jenis penggunaan peningkatan tertinggi terjadi pada kredit modal kerja dan KPR.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, perkiraan kebutuhan pembiyaan korporasi pada kuartal pertama bukan merupakan pertanda mulai terjadinya ekspansi. "Bisa jadi bahwa sebagian didorong oleh rencana ekspansi, tetapi kebutuhan pembiayaan operasional tersebut juga didorong kebutuhan korporasi untuk bertahan selama pandemi," kata Riefky kepada Katadata.co.id, Senin (18/1).
Ia pun memperkirakan pelonggaran kebijakan kredit yang akan dilakukan OJK belum akan berdampak pada pertumbuhan kredit tahun ini. Peningkatan permintaan kredit, menurut dia, akan bergantung pada perkembangan pandemi Covid-19. Jika pandemi terkontrol, aktivitas ekonomi akan pulih dan permintaan kredit dapat meningkat. "Kuncinya adalah penanganan kesehatan, terutama penurunan kasus harian," kata dia.