LPS: Kondisi Perbankan Stabil Tapi Belum Mampu Dukung Ekonomi
Lembaga Penjamin Simpanan memastikan industri perbankan berada dalam kondisi baik dan stabil. Namun, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, perbankan belum mampu memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi.
"Itu permasalahannya, karena pertumbuhan kredit masih cenderung negatif," kata Purbaya dalam Konferensi Pers Penetapan Tingkat Bunga Penjaminan LPS secara virtual, Kamis (28/1).
Kondisi perbankan yang cukup baik terlihat dari rasio modal atau capital to adequate ratio atau CAR hingga akhir tahun lalu yang sebesar 23,7%, biaya operasional pendapatan atau BOPO 82,26%, net interest margin alias NIM 4,29%, dan loan to deposit ratio atau LDR 82,79%. Rasio kredit bermasalah atau NPL secara gross juga terjaga 3,15%.
Meski kondisi perbankan baik, menurut Purbaya, pertumbuhan kredit dalam beberapa bulan terakhir tahun ini menunjukkan tren menurun dan belum menunjukkan kondisi pembalikan arah. "Jadi ini masih negatif untuk memberi stimulus perekonomian," ujarnya.
Direktur Eksekutif Riset, Surveilans dan Pemeriksaan LPS Priyantina mengatakan pertumbuhan simpanan di bank BUKU 2, 3, dan 4 memperlihatkan tren yang positif, kecuali pada BUKU 1. "Simpanan pada bank BUKU 1 agak sedikit tertekan dan perkembangannya masih terlihat menurun," ujar Priyantina dalam kesempatan yang sama.
Analis Pasar Uang PT Bank Mandiri Tbk Rully Arya Wisnubroto memperkirakan kredit akan tumbuh secara bertahap seiring dengan membaiknya perekonomian. Ia memperkirakan kredit akan tumbuh 5%, sedangkan dana pihak ketika naik 8% pada tahun ini. Kinerja laba juga akan membaik seiring permintaan kredit yang meningkat.
"Biaya pencadangan secara perlahan akan menurun," kata Rully dalam hasil risetnya, Rabu (27/1).
Pinjaman industri perbankan mengalami kontraksi 1,4% secara tahunan pada November 2020, lebih dalam dari negatif 0,5% pada Oktober 2020. Pertumbuhan simpanan melambat dari 12,1% menjadi 11,6%. Rasio kredit terhadap simpanan perbankan pun menurun dari 82,8% menjadi 82,1%, terendah dalam sembilan tahun terakhir.
Dari seluruh kelompok bank berdasarkan modal, hanya pinjaman bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4 yang tumbuh positif. Namun, pertumbuhan bank-bank bermodal di atas Rp 30 triliun ini melambat dari 4,1% menjadi 2,7%.. Pinjaman BUKU 3 atau bermodal Rp 5 triliun hingga di bawah Rp 30 triliun dan BUKU I dengan modal di bawah Rp 1 triliun menyusut lebih dalam dari masing-masing 9% dan 38,1% menjadi 9,6% dan 51,5%. Sementara itu, Pertumbuhan pinjaman bank BUKU 2 berubah positif dari kontraksi 0,1% menjadi 0,1%.
Pertumbuhan simpanan juga melemah di seluruh kelompok BUKU kecuali BUKU 3. Pertumbuhan simpanan BUKU 4 dan 2 melambat dari 17,8% dan 8,7% pada Oktober 2020 menjadi 15,9% dan 8,2% pada November 2020. Simpanan bank BUKU 1 menyusut lebih dalam dari kontraksi 39,3% menjadi 57,4%. Sementara itu, pertumbuhan simpanan bank BUKU 3 meningkat dari 4% menjadi 5,6%.
Rully memprediksikan likuiditas di sistem perbankan akan tetap mencukupi, didukung oleh kebijakan moneter akomodatif Bank Indonesia. Tahun lalu, bank sentral menyuntikkan likuiditas di sistem perbankan sebesar Rp 726,6 triliun melalui penurunan giro wajib minimum dan ekspansi moneter masing-masing sebesar Rp 155 triliun dan Rp 555,8 triliun.
Penempatan bank pada instrumen Operasi Pasar Terbuka BI pada 25 Januari 2021 tercatat sebesar Rp 658,2 triliun, meningkat Rp 61 triliun dibandingkan akhir tahun 2020. Sementara CAR industri perbankan pada November 2020 meningkat menjadi 24,3% dari 23,8% pada 20 Oktober 2020.
Otoritas Jasa Keuangan sebelumnya mencatat, pertumbuhan kredit memburuk pada Desember 2020 menjadi minus 2,4% secara tahunan. Pertumbuhan simpanan melambat menjadi 11,1% sehingga LDR meningkat menjadi 82,2% dibandingkan sebelumnya. Namun, LDR perbankan jauh lebih baik dibandingkan Desember 2019 yang mencapai 93,6%.
Pengawas perbankan ini juga mencatat laba bersih bank setelah pajak mengalami kontraksi sebesar 33,1%pada akhir tahun lalu dibandingkan 2019. Penurunan tajam laba bersih bank disebabkan oleh pertumbuhan kredit yang lemah, restrukturisasi kredit, dan peningkatan provisi kerugian untuk mengantisipasi kondisi memburuk dan kualitas aset melemah.