BI Waspadai Pelemahan Rupiah Akibat Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS
Bank Indonesia khawatir kenaikan imbal hasil alias yield obligasi Amerika Serikat beberapa waktu terakhir dapat menganggu keseimbangan aliran modal asing ke Indonesia. Sepekan lalu, aliran modal asing tercatat keluar Rp 3,54 triliun dari pasar keuangan domestik.
Direktur Eksekutif Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Yoga Affandi mengatakan, kenaikan yield obligasi AS terutama terjadi pada tenor 10 tahun. "Imbal hasil surat utang Negeri Paman Sam diperkirakan terus meningkat dan ini sesuatu yang agak menganggu," kata Yoga dalam webinar Harmonisasi Kebijakan Moneter Dan Fiskal, Rabu (24/2).
Menurut dia, kenaikan imbal hasil obligasi AS terjadi seiring optimisme perbaikan ekonomi negara tersebut. Ia pun berharap kenaikan yield surat utang Negeri Paman sam tidak akan mengubah tren portofolio pada tahun ini.
"Kami akan lihat apa ini digerakkan oleh nominal yield atau real yield. Ini akan memberikan feedback yang berbeda,” katanya.
BI melaporkan, terdapat aliran modal asing keluar Rp 3,54 triliun yang keluar dari portofolio RI selama satu pekan lalu. Secara perinci, dana asing keluar dari pasar surat berharga negara (SBN) Rp 2,4 triliun dan saham Rp 1,14 triliun. Meski begitu, masih tercatat nett inflow sepanjang tahun 2021 sebesar Rp 36,24 triliun di pasar keuangan domestik.
Namun, Yoga mengatakan, pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, The Fed Jerome Powell baru-baru ini dapat membuat pergerakan rupiah lebih stabil. Powell mengatakan bahwa kebijakan bank sentral AS akan tetap akomodatif.
Indeks dolar AS saat ini, menurut dia, berada pada tingkat terendah dan cenderung terus melemah. "Ini memberikan keleluasaan bagi nilai tukar di negara-negara emerging market," ujar dia.
Ekonom Permata Bank Josua Pardede menyebutkan bahwa imbal hasil obligasi RI tenor 10 tahun terlihat menurun 8 basis poin menjadi 6,57% di tengah tren kenaikan yield surat utang Negeri Paman Sam. Adapun imbal hasil obligasi AS naik 13 bps dalam satu pekan ini.
Dia menilai bahwa perekonomian AS memang membaik tetapi memberikan sinyal campuran. Hal tersebut sejalan dengan PMI Manufacturing yang mencatatkan nilai 58,5 pada Januari 2021, lebih rendah bila dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 59,2. "Sementara PMI Service naik dari 58,3 menjadi 58,9," ujar Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (24/2).
Meski begitu, rupiah berhasil menguat dipengaruhi ekspektasi pasar terhadap pidato Powell di Kongres kemarin malam. Ia mengatakan bahwa kebijakan Fed belum akan menaikkan suku bunga dan termasuk akan melanjutkan pembelian obligasi. Hal itu mengonfirmasi kembali pernyataan Powell sebelumnya yaitu The Fed masih akan mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif.
Selain itu, lanjut Josua, perkembangan stimulus fiskal AS saat ini akan ditentukan oleh voting kongres dalam minggu ini sehingga mendorong membaiknya sentimen aset keuangan negara berkembang. "Tren kenaikan harga komoditas global terutama harga minyak mentah turut mendorong penguatan mata uang negara penghasil komoditas," kata dia.