Sri Mulyani: Pekerja Perempuan Lebih Rentan Kena PHK di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 menyebabkan banyak pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pekerja perempuan lebih rentan terkena PHK karena mayoritas bekerja di sektor yang terdampak langsung Covid-19.
"Menurut studi McKinsey, pekerja perempuan 1,8 kali lebih rentan di-PHK dibanding laki-laki," kata Sri Mulyani dalam Webinar "Woman in Tax: Peran Perempuan dalam Perpajakan Indonesia", Rabu (21/4).
Dia menjelaskan, 70% pekerja di sektor kesehatan dan sosial merupakan perempuan. Sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hingga pendidikan pun didominasi perempuan. Sektor-sektor tersebut merupakan bidang yang paling terdampak pandemi. "Pandemi memberi dampak yang asimetris antara laki-laki dan perempuan," ujarnya.
Selain itu, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menilai, Covid-19 meningkatkan beban yang dipikul wanita karena terjadi perubahan sistem kerja menjadi bekerja dari rumah (work from home/WFH). Meski bekerja, pekerja perempuan juga terbebani oleh tugas rumah tangga.
Ia pun menyebutkan bahwa jika perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam perekonomian, produk domestik bruto (PDB) global bisa bertambah US$ 12 triliun pada 2025. "Artinya semakin suatu negara memiliki konstelasi yang lebih kohesif di mana peran dan kesempatan pada perempuan diberikan yang sama maka ada potensi yang besar untuk ekonomi," katanya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melihat pandemi Covid-19 telah memperparah kerentanan ekonomi perempuan dan ketidaksetaraan gender. Kaum perempuan bahkan disebut memikul beban yang lebih berat selama pandemi. Kesimpulan tersebut berdasarkan
Berdasarkan laporan "Menilai Dampak Covid-19 terhadap Gender dan Pencapaian SDG's di Indonesia", 82% perempuan yang bergantung pada usaha keluarga mengalami penurunan sumber pendapatan. Sedangkan laki-laki yang mengalami hal serupa mencapai 80%.
Selain itu, ada 36% perempuan pekerja informal yang harus mengalami pengurangan waktu kerja berbayar. Jumlah tersebut lebih banyak ketimbang laki-laki pekerja informal sebesar 30%. Ini karena 61% di antara mereka harus menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak. Di sisi lain, hanya 48% laki-laki yang melakukan hal yang sama.
Dengan beban mengurus pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan, kehilangan pekerjaan dan pendapatan, serta menghadapi kekerasan berbasis gender, perempuan lebih rentan mengalami gangguan kesehatan mental selama pandemi. Hasil survei menunjukkan sebanyak 57% perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan. Sedangkan hanya 48% laki-laki mengalami hal yang sama.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati Puspayoga mengatakan hasil survei itu menjadi masukan berharga bagi pemerintah terutama dalam dalam merancang dan melaksanakan kebijakan. Dia juga berharap dunia usaha, lembaga masyarakat, dan media massa ikut mendorong kebijakan, program, dan layanan terbaik bagi perempuan dan anak. Terutama dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's).