Masih Turun Tipis, Penerimaan Pajak Hingga April Rp 374,9 T
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak hingga April 2021 mencapai Rp 374,9 triliun, turun 0,46% dibanding April 2020 Rp 376,7 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan negatif penerimaan pajak bulan lalu terjadi karena tidak semua sektor ekonomi sudah pulih dari pandemi.
"Jadi tantangan kita, tidak semua wilayah dan sektor sudah pulih," kata Sri Mulyani dalam Peresmian Organisasi dan Tata Kerja Baru Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Senin (24/5).
Meski masih minus dibanding tahun lalu, Sri Mulyani menilai perkembangan penerimaan pajak masih lebih baik dibanding April 2020 yang negatif 3%. Penurunan penerimaan pajak yang membaik terjadi karena terdapat beberapa sektor yang mulai pulih.
Hal itu tercermin dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan yang naik 31,1% pada periode tersebut. "Tetapi ini nanti harus dibersihkan dari beberapa anomali," ujarnya.
Penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri secara bruto juga tumbuh 6,4%. Ini menggambarkan transaksi barang dan jasa yang menjadi objek PPN meningkat. Namun secara neto, menurut dia, jenis penerimaan pajak itu masih terkontraksi.
Bendahara Negara menyampaikan, realisasi penerimaan pajak pada bulan lalu sudah mencapai 30,94% dari target tahun ini Rp 1.229,58 triliun.
Ia mengatakan, target pajak tahun ini cukup berat di tengah proses pemulihan ekonomi yang masih dini. Pemerintah pun masih terus mencari keseimbangan antara pemulihan ekonomi dan kesehatan masyarakat. Namun, penerimaan pajak tetap harus dikejar mengingat rasio pajak atau tax ratio sudah berada di bawah 9% pada tahun lalu. "Pola tax ratio harus kita ubah terus ke atas," kata dia.
Pemerintah saat ini tengah menggodok wacana kenaikan tarif PPN melalui RUU Ketentuan Umum Perpajakan. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menyebutkan bahwa terdapat tiga alternatif menambah penerimaan negara selain dengan menaikkan tarif PPN. Pertama, pemanfaatan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) yang mencapai Rp 178,8 triliun pada Maret 2021."Ini besar sekali dan tidak digunakan," kata Tauhid, Selasa (11/5).
Menurut dia, pemerintah sudah menerbitkan utang dalam jumlah besar. Namun, ternyata pemanfaatannya belum optimal. "Jadi ini dahulu yang dibenarkan ketimbang mengutak-atik pendapatan negara," ujar Tauhid.
Pembiayaan anggaran pemerintah Januari hingga Maret 2021 tercatat Rp 322,9 triliun. Sumber anggaran tersebut masih didominasi penarikan utang Rp 328,46 triliun, pembiayaan investasi Rp 5,56 triliun, pemberian pinjaman Rp 45,9 miliar, dan pembiayaan lainnya Rp 44,6 miliar.
Kedua, pengoptimalan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar ekonomi bisa tumbuh dan meningkatkan penerimaan negara. Tauhid menilai, penyerapan PEN relatif rendah dan kurang efektif. Ia mencontohkan, anggaran kartu prakerja yang hampir Rp 20 triliun untuk peningkatan kapasitas, keterampilan, dan daya saing penerimanya. Namun, dari evaluasi terhadap minat dan alasan peserta mengikuti program tersebut karena hanya membutuhkan uangnya saja bukan pelatihannya.
Selain itu, kata dia, program bansos lainnya yang ditargetkan kepada 40% masyarakat ke bawah kerap tidak tepat sasaran. Alasannya, banyak penerima bansos yang sebenarnya tidak berhak. "Sehingga uangnya tidak dikonsumsi tetapi disimpan dan menambah tabungan mereka," ujar dia.
Ketiga, mengembalikan reformasi perpajakan melalui penambahan objek pajak baru, kepatuhan pengawasan, hingga tata kelola dan administrasi. Jika reformasi perpajakan bisa berjalan sesuai rencana, Tauhid berpendapat bahwa kebijakan pemerintah ke depannya bisa lebih efektif.
Banyak negara menerapkan terobosan melalui PPh baik badan maupun perorangan seperti Swedia, Inggris, Polandia, Belanda, Rusia, Kanada, hingga Tunisia. Terdapat pula beberapa negara yang menggunakan instrumen PPN sebagai terobosan meliputi peningkatan tarif, pengurangan exemption, serta pengenaan PPN atas transaksi digital.