Sembako Bakal Kena PPN, Kemenkeu: Pemerintah Tak Akan Membabi Buta
Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi bahan-bahan pokok atau sembako. Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo memastikan, pemerintah tidak akan membabi buta terkait rencana tersebut.
"Konyol kalau pemulihan ekonomi yang diperjuangkan mati-matian justru dibunuh sendiri. Mustahil," kata Yustinus dalam akun twitter resminya, Rabu (9/6).
Menurut dia, barang yang dikonsumsi masyarakat banyak atau menengah ke bawah memang sudah sewajarnya dikenakan tarif PPN lebih rendah atau di bawah 10%. Sebaliknya, barang yang hanya dikonsumsi kelompok atas dapat dikenakan PPN lebih tinggi. Yustinus menilai hal tersebut merupakan bentuk keadilan.
"Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu, seperti filosofis pajak yakni gotong royong,. Beberapa barang atau jasa akan dibuat skemanya agar ringan," ujarnya.
Ia pun menegaskan bahwa saat ini merupakan waktu yang tepat untuk merancang dan memikirkan kemungkinan perubahan tarif PPN tersebut. Namun, penerapannya masih akan menunggu ekonomi pulih secara bertahap.
Di sisi lain, menurut dia, pemerintah akan terus memperkuat perlindungan sosial. Semakin banyak keluarga yang mendapatkan bansos dan subsidi maka akan jadi relevan dengan perubahan tarif PPN. "Bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN misalnya 1% atau 5% dengan bansos atau subsidi yang diterima rumah tangga," ujar dia.
Rencana pengenaan tarif PPN untuk sembako tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Berdasarkan Pasal 4A dalam beleid yang diterima Katadata.co.id tersebut, sembako dihapus dari jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017, sembako yang tidak dikenakan PPN yakni meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, dan telur. Kemudian, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.
Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai, rencana pengenaan PPN terhadap sembako merupakan sebuah langkah yang tidak hanya akan meningkatkan harga pangan sehingga mengancam ketahanan pangan. Tetapi, juga akan berdampak buruk kepada perekonomian Indonesia secara umum. "Terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah. Lebih dari sepertiga masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bernutrisi karena harga pangan yang mahal,” ujar Felippa dalam keterangan resminya, Rabu (9/6).
Ia mengatakan bahwa mengenakan PPN kepada sembako akan meningkatkan harga dan memperparah situasi saat ini. Apalagi, ketika pendapatan masyarakat berkurang di tengah pandemi.
Felippa menyebutkan, pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga dan bagi masyarakat berpendapatan rendah. Belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56% dari pengeluaran rumah tangga mereka. "Pengenaan PPN pada sembako, menurut ia, tentu saja akan memberatkan golongan tersebut," katanya.
Secara lebih umum lagi, lanjut dia, kenaikan harga akan mendorong inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat akan mengurangi belanja. Padahal, belanja rumah tangga dan konsumsi pemerintah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi negara yang relatif dapat didorong pemerintah dalam jangka pendek untuk memulihkan perekonomian.