Memahami Taper Tantrum yang Dikhawatirkan Sri Mulyani dan Gubernur BI

Agustiyanti
17 Juni 2021, 16:47
taper tantrum, tapering off, bank sentral as, the federal reserve, kebijakan the fed
ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI
Ilustrasi. Bank Indonesia memastikan akan merespons kemungkinan terjadinya pengetatan kebijakan atau tapering off dengan mengoptimalkan langkah-langkah stabilisasi moneter

Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengingatkan taper tantrum menjadi salah satu risiko yang dihadapi perekonomian Indonesia pada tahun depan. Efek dari kebijakan Bank Sentral AS, The Federal Reserve ini dapat mendorong aliran modal asing ke luar dari Indonesia. Namun, apa sebenarnya taper tantrum?

Mengutip Investopedia, taper tantrum adalah istilah yang digunakan media ekonomi untuk menggambarkan lonjakan imbal hasil surat berharga AS pada 2013 karena pengumuman Bank Sentral AS, The Federal Reserve tentang kebijakan pelonggaran kuantitatif di masa depan. The Fed kala itu mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi laju pembelian obligasi treasury, untuk mengurangi jumlah uang yang dimasukkan ke dalam perekonomian.

Taper tantrum mengacu pada kepanikan sebagian besar investor pada 2013 yang memicu lonjakan hasil treasury AS setelah mengetahui bahwa The Fed perlahan-lahan menghentikan program pelonggaran kuantitatif (QE). Kekhawatiran utama di balik taper tantrum bersumber dari ketakutan bahwa pasar akan runtuh akibat penghentian QE.

Pada akhirnya, kepanikan taper tantrum tidak beralasan, karena pasar terus pulih setelah program taper tantrum dimulai.

Pelonggaran kuantitatif (QE) sendiri merupakan kebijakan bank sentral AS untuk mendorong ekonomi setelah krisis 2008. QE mencakup pembelian obligasi dan sekuritas lainnya dalam jumlah besar. Secara teori, hal ini meningkatkan likuiditas di sektor keuangan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ini juga bertujuan menstabilkan sektor keuangan mendorong pinjaman, untuk memungkinkan konsumen berbelanja dan bisnis untuk berinvestasi.

Namun pada 2013, Ketua Federal Reserve Ben Bernanke mengumumkan bahwa The Fed di masa mendatang akan mengurangi volume pembelian obligasinya. Dalam periode sejak krisis keuangan 2008, The Fed telah melipatgandakan ukuran neracanya dari sekitar US$1 triliun menjadi sekitar US$3 triliun dengan membeli hampir US$2 triliun obligasi Treasury dan aset keuangan lainnya untuk menopang pasar. Hal ini membuat pasar bergantung pada dukungan besar-besaran The Fed.

Kebijakan prospektif untuk mengurangi tingkat pembelian aset The Fed ini merupakan kejutan negatif besar-besaran terhadap ekspektasi investor, karena The Fed telah menjadi salah satu pembeli terbesar dunia. Seperti halnya penurunan permintaan, pengurangan pembelian Fed (obligasi) membuat harga akan turun.

Investor obligasi segera menanggapi prospek penurunan harga obligasi di masa depan dengan menjual obligasi, sehingga menekan harga obligasi. Penurunan harga obligasi selalu berarti imbal hasil yang lebih tinggi, sehingga imbal hasil Treasury AS melonjak.

Reaksi pasar obligasi yang ekstrem pada saat itu terhadap kemungkinan berkurangnya dukungan di masa depan menggarisbawahi sejauh mana pasar obligasi telah menjadi kecanduan stimulus The Fed.

Halaman:
Reporter: Agatha Olivia Victoria
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...