Pacu Konsumsi Masyarakat, BI Perpanjang Keringanan Denda Kartu Kredit
Bank Indonesia memperpanjang keringanan denda keterlambatan pembayaran kartu kredit hingga 31 Desember 2021. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong penggunaan kartu kredit sebagai penyangga konsumsi masyarakat dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional.
"Perpanjangan kebijakan penurunan nilai denda keterlambatan pembayaran kartu kredit 1% dari outstanding atau maksimal Rp 100 ribu," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam Konferensi Pers hasil Rapat Dewan Gubernur bulan Juni 2021, Kamis (17/6).
Perry menyebutkan bahwa nilai transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, kartu debet, dan kartu kredit pada Mei 2021 tumbuh 21,03% secara tahunan dengan total Rp 689,7 triliun. Perkembangan tersebut seiring dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan kebutuhan masyarakat menjelang Hari Raya Idulfitri 2021.
Namun data BI hingga kuartal pertama tahun ini menunjukkan transaksi kartu kredit turun 27,7% dari Rp 78,6 triliun pada Januari-Maret 2020 menjadi Rp 56,9 triliun. BI sebelumnya juga menurunkan batas maksimum bunga kartu kredit dari saat ini sebesar 2% menjadi 1,75% per bulan. Kebijakan tersebut berlaku mulai 1 Juli 2021.
Transaksi kartu kredit anjlok sejak tahun lalu akibat Pandemi Covid-19. Nilai transaksi kartu kredit sepanjang tahun lalu hanya mencapai Rp 238,9 triliun, anjlok 30,3% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 342,7 triliun. Jumlah transaksi juga jeblok dari 349,2 juta transaksi menjadi 274,7 juta transaksi.
Anjloknya penggunaan kartu kredit salah satunya disebabkan oleh berkurangnya mobilitas masyarakat sehingga menurunkan konsumsi. Badan Pusat Statistik mencatat daya beli masyarakat masih lemah pada kuartal I 2021 yang tercermin dari masih terkontraksinya konsumsi rumah tangga sebesar 2,23% secara tahunan (year on year/yoy) pada Januari-Maret 2021.
"Konsumsi rumah tangga masih menjadi tantangan yang harus kita hadapi," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam Konferensi Pers Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal I 2021 pada awal Mei 2021.
Meski demikian, konsumsi rumah tangga Indonesia terus mengalami perbaikan dari titik terendahnya pada kuartal II 2020 yang anjlok hingga 5,52%. Berdasarkan komponennya, konsumsi rumah tangga di sektor transportasi dan komunikasi mengalami kontraksi 4,24% atau menjadi yang terdalam.
Tiga komponen lainnya juga masih melemah, seperti makanan dan minuman selain restoran yang masih terkontraksi 2,31% secara tahunan pada kuartal I 2021. Kontraksi pada komponen tersebut bahkan lebih rendah jika dibandingkan pada kuartal sebelumnya yang melemah 1,39%.
Hal serupa terjadi pada konsumsi rumah tangga pada komponen kesehatan dan pendidikan. Meski mengalami pertumbuhan sebesar 0,31% pada triwulan pertama 2021, namun angkanya lebih rendah dibandingkan pada kuartal IV 2020 yang mencapai 0,64%.
Konsumsi rumah tangga di komponen lainnya juga mengalami pelemahan. Selama tiga bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga di komponen tersebut terkontraksi 1,33%, lebih rendah dibandingkan pada kuartal IV 2020 yang minus 0,88%.
Kedua komponen konsumsi rumah tangga tersebut masuk ke dalam barang dan jasa yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) ke depannya melalui revisi Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Hal tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan kenaikan harga yang bakal ditanggung oleh konsumen di kedua komponen tersebut.
Angkutan umum juga termasuk salah satu jasa layanan yang akan dihapus dari objek tidak kena pajak. Pada kuartal I 2021, pertumbuhan konsumsi rumah tangga di komponen transportasi dan komunikasi masih mengalami kontraksi sebesar 4,24%. Walau demikian, angkanya membaik dibandingkan pada triuwlan IV 2020 yang minus 9,45%.