Efek Belanja Kesehatan Minim ke Ekonomi karena Didominasi Barang Impor
Pemerintah mengalokasikan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk klaster kesehatan pada tahun ini mencapai Rp 214,96 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan belanja kesehatan ini tidak banyak memberi efek rembatan ke ekonomi meski plafonnya cukup besar karena mayoritas merupakan barang impor.
"Salah satu tantangan kita karena belanja ini masih didominasi oleh barang impor sehingga multiplier effectnya ke dalam negeri menjadi sangat terbatas," kata Sri Mulyani dalam Diskusi Virtual Bertajuk ForumIndonesia Bangkit oleh CIMB Niaga, Rabu (29/9).
Sri Mulyani menjelaskan belanja kesehatan pada tahun ini difokuskan untuk vaksinasi, tracing, testing dan treatment (3T), insentif tenaga kesehatan, serta penyediaan obat-obatan. Indikasi dari tingginya impor untuk kebutuhan kesehatan tercermin dari laporan Insentif perpajakan untuk impor vaksin dan alat kesehatan yang cukup besar.
Kementerian Keuangan melaporkan sejak awal tahun hingga 31 Agustus 2021, nilai insentif perpajakan yang sudah diberikan untuk kebutuhan tersebut mencapai Rp 4,92 triliun. Insentif perpajakan ini mencakup pembebasan bea masuk dan penghapusan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI).
Nilai insentif untuk impor alat kesehatan sebesar Rp 1,37 triliun, sedangkan untuk impor vaksin Rp 3,55 triliun. Khusus impor vaksin, menurut dia, pembebasan perpajakan diberikan untuk mendatangkan 217 juta dosis vaksin.
Meski minim efek ganda, menurut Sri Mulyani, belanja kesehatan penting untuk menjamin kesehatan masyarakat. Ini juga secara tidak langsung memberi pondasi yang kuat terhadap ekonomi.
"Anggaran PEN untuk kesehatan masih besar karena vaksinasi menjadi persyaratan untuk membentuk kemampuan menangani Covid-19 saat terjadi lonjakan, dengan begitu ini skenario untuk beralih dari pandemi menuju endemi," kata Sri Mulyani.
Pemerintah mengalokasikan anggaran PEN tahun ini sebesar Rp 744,77 triliun, membengkak dari alokasi awal Juli lalu Rp 699,43 triliun. Sebagian besar anggaran ini mengalir untuk belanja kesehatan dan perlindungan sosial.
Ia menjelaskan, anggaran kesehatan pada tahun ini melesat dari tahun lalu Rp 62,67 triliun. Ini karena pemerintah masih fokus membangun membangun rumah sakit dan belum memulai vaksinasi pada tahun lalu.
Di sisi lain, anggaran klaster perlindungan sosial sebesar Rp 186,64 triliun pada tahun ini turun dari Rp 218,65 triliun tahun lalu. Anggaran ini digelontorkan untuk sejumlah program seperti Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, kartu prakerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa, bansos tunai, subsidi listrik dan kuota internet, bantuan subsidi upah dan bantuan lainnya yang dihadirkan saat terjadi lonjakan varian Delta bulan Juli lalu.
Klaster dukungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan korporasi sebesar Rp 162,40 triliun, juga turun dari tahun lalu Rp 172,99 triliun. Penggunaannya untuk memberi dukungan pada dunia usaha dalam bentuk subsidi bunga bagi UMKM hingga Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN.
Anggaran untuk insentif usaha sebesar Rp 62,83 triliun, naik dari Rp 55,35 triliun tahun lalu. Anggaran ini dipakai untuk memberi insentif perpajakan bagi dunia usaha. Kemudian klaster terakhir yakni program prioritas sebesar Rp 117,94 triliun, membengkak dari Rp 65,22 triliun tahun lalu.