Rupiah Loyo Dekati 14.200 per US$ Tertekan Kenaikan Inflasi Global
Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,07% di level Rp 14.163 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot pagi ini. Rupiah diramal melanjutkan pelemahan sepanjang hari ini di tengah kekhawatiran terhadap inflasi global yang mendorong pelemahan di pasar aset berisiko.
Mengutip Bloomberg, rupiah terus melemah hingga Rp 14.190 per dolar AS pada pukul 09.30 WIB. Kian loyo dari posisi penutupan kemarin Rp 14.153 per dolar AS.
Mayoritas mata uang Asia lainnya juga melemah pagi ini. Dolar Hong Kong dan yuan Cina kompak melemah 0,02% bersama dolar Singapura 0,03%, won Korea Selatan dan ringgit Malaysia 0,07%, peso FIlipina 0,09% dan bath Thailand 0,08%. Sedangkan rupee India menguat 0,17% bersama yen Jepang 0,07% dolar Taiwan 0,14%
Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkiran nilai tukar rupiah berpotensi melemah ke kisaran Rp 14.180 per dolar AS, dengan potensi penguatan Rp 14.120. Nilai tukar tertekan oleh sentimen pelemahan aset berisiko.
"Indeks saham Asia terlihat melemah, ini memicu pelemahan nilai tukar rupiah hari ini terhadap dolar AS," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Rabu (27/10).
Mayoritas indeks saham Asia melemah pagi ini. Nikkei 225 Jepang melemah 0,68%, diikuti Shanghai SE Composite 0,61%, indeks Hang Seng Hong Kong anjlok 1,60%, begitu juga Kospi Korea Selatan 0,75%. Sementara penguatan pada indeks Nifty 50 India 0,79%, FTSE Bursa Malaysia 0,37%, Thai Set 50 Thailand 0,13%.
Indeks utama AS dan Eropa terpantau menguat pada penutupan semalam. Dow Jones Industrial menguat 0,04%, S&P 500 0,18%, Nasdaq Composite 0,06%. Di Eropa, indeks FTSE 100 Inggris menghijau 0,76%, begitu juga DAX Jerman 1,01% dan CAC 40 Perancis 0,80%.
Ariston mengatakan, tekanan di pasar saham Asia terutama dipengaruhi memburknya ekskeptasi pasar terhadap kenaikan inflasi global. Tekanan pada harga-harga yang diakibatkan oleh krisis energi dan masalah rantai pasok juga mendorong sejumlah bank sentral dunia mulai memperketat kebijakan moneternya.
Bank sentral AS, Inggris dan Eropa disebut dalam rencana memulai exit policy. Ini menyusul bank sentral lain seperti Korea Selatan, Singapura dan Selandia Baru yang sudah lebih dulu melakukannya.
Ariston mengatakan, pelemahan rupiah juga masih dipengaruhi masalah di sektor properti Cina yang belum usai. Raksasa Evergande diketahui berhasil melewati default atau gagal bayar setelah melunasi tagihan kupon obligasi luar negerinya akhir pekan lalu, kendati demikian perusahaan masih memiliki tagihan yang jatuh tempo pekan ini.
Namum setelah Evergande, giliran Modern Land yang dilaporkan melewati kewajibannya. Perusahaan melaporkan bahwa mereka belum membayar pokok dan bunga atas senior notes sebesar 12,85% yang jatuh tempo pada Senin (25/10). Obligasi tersebut memiliki pokok pinjaman sebesar US$ 250 juta.
Dampak spill over dari kasus Evergande menjadi perhatian serius karena satu persatu pengembang properti lainnya juga gagal memenuhi kewajibannya. CNBC International menyebutkan, China Sinic Holding, gagal memenuhi kewajiban atas obligasi luar negerinya senilai US$ 250 juta yang jatuh tempo pada Senin (18/10).
Sebelumnya ada juga China Properties Group yang melewatkan pembayaran tagihannya senilai US$ 226 juta pada 15 Oktober lalu. Selain itu, ada perusahaan Fantasia Holdings juga gagal melunasi kupon obligasi senilai US$ 206 juta pada awal bulan ini.
Berbeda dari Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto lebih optimistis dan memperkirakan rupiah bisa menguat hari ini di kisaran Rp 14.132 per dolar AS, dengan potensi pelemahan di Rp 14.198 per dolar AS. Ia melihat ekspektasi pasar terhadap perekonomian domestik membaik yang kemudian mendorong penguatan nilai tukar.
"Kepercayaan investor juga cenderung meningkat dan pandemi di dalam negeri cukup terkendali, arus modal asing terus masuk ke pasar saham Indonesia," kata Rully kepada Katadata.co.id.
Bank Indonesia mencatat jumlah pembelian asing di pasar saham tercatat Rp 2,06 triliun sepanjang pekan lalu. Tetapi pada saat yang sama investor juga mulai melepas kepemilikannya atas obligasi pemerintah, terdapat jual neto SBN Rp 1,35 triliun.
Di sisi lain, ia juga mengatakan pasar masih menunggu rilis data inflasi Oktober awal bulan depan. Pasar memperkirakan inflasi masih akan tetap stabil di tengah banyak negara lain yang justru berjuang karena kenaikan harga-harga. Sentimen ini dapat menahan volatilitas global.