BI Antisipasi Potensi Lonjakan Inflasi pada Paruh Kedua Tahun Depan
Bank Indonesia mewaspadai tekanan inflasi yang berpotensi terjadi pada paruh kedua tahun depan. Inflasi di Tanah Air saat ini masih cenderung stabil dan diperkirakan masih sesuai target BI dalam rentang 2% hingga 4% meski banyak negara di dunia sudah mulai bergelut dengan lonjakan kenaikan harga dalam beberapa bulan terakhir.
"Ada beberapa risko yang tentu saja harus kami pantau dari waktu ke waktu. Ada kemungkinan tekanan inflasi terjadi khususnya pada paruh kedua tahun depan karena kenaikan harga energi ataupun kenaikan permintaan yang lebih cepat," ungkap Perry di depan anggota Komisi XI DPR RI dalam Rapat Kerja Panja RATBI 2022, Senin (29/11).
Meski demikian, Perry dalam acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) pekan lalu mengatakan inflasi tahun depan diproyeksikan tetap rendah di kisaran target 2%-4%. Proyeksi tahun depan tidak berubah dari proyeksi tahun ini.
Ia menjelaskan, inflasi yang tetap terjaga tahun depan didukung oleh kenaikan kapasitas produksi nasional melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas untuk memenuhi kenaikan permintaan. Agregat permintaan berpeluang meningkat seiring meningkatnya mobilitas dan dibukanya sektor-sektor ekonomi.
Perry dalam konferensi pers pengumuman hasil rapat dewan gubernur BI pekan lalu juga sempat mengatakan bahwa tekanan inflasi di sisi produksi yang terlihat dari indeks harga produsen (IHP) belum tertransmisikan ke harga konsumen. IHP mencatat inflasi 7,6% secara tahunan pada kuartal ketiga lalu.
"Memang ada kenaikan inflasi di tingkat produski tapi belum berpengaruh terhadap kenaikan harga di tingkat konsumen," ujar Perry dalam konferensi pers Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur BI bulan November, Kamis (18/11).
Perry mengatakan ada tiga indikator yang mendukung asumsinya itu. Pertama, ketersediaan penawaran agregat masih jauh memadai dibandingkan jumlah permintaan. Penawaran agregat merupakan ketersediaan dari sisi pasokan atau produksi nasional. Ketersediaan dinilai cukup untuk memenuhi permintaan yang mulai meningkat.
Kedua, stabilitas nilai tukar yang membantu menahan kenaikan yang signifikan pada harga-harga domestik. Perry mengatakan, nilai tukar rupiah masih stabil bahkan cenderung menguat saat terjadi booming harga komoditas global sejak beberpa bulan terakhir. Dengan demikian, kenaikan harga global tersebut tidak merembet ke dalam negeri.
Ketiga, eksepktasi inflasi masih terjaga. Perry mengatakan, ekspektasi inflasi tersebut dapat dilihat dari survei ekspektasi konsumen yang dirilis BI, survei kegiatan dunia usaha yang menggambarkan inflasi di tingkat produsen, dan proyeksi para ekonom untuk mengukur inflasi di pasar keuangan.
Selain tekanan kenaikan harga-harga, isu tapering off bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve juga jadi perhatian serius BI tahun depan.
"Bisa juga risiko kenaikan nilai tukar karena adanya tappering off the fed. Tapi komitmen kami untuk mengupayakan seluruh kebijakan agar asumsi-asumi (asumsi makro APBN) ini tetap sejalan," kata Perry.
Terkait ancaman tapering off The Fed, sejauh ini BI berulang kali mencoba memenangkan pasar bahwa dampak tapering off tidak akan separah taper tantrum 2013. Hal ini karena sejumlah alasan. Pertama, komunikasi pejabat The Fed yang jelas, sehingga pasar mampu menebak arah kebijakan bank sentral.
Kedua, strategi BI melalui triple intervention baik di pasar valas, DNDF dan SBN. Ketiga, dari sisi ketahanan eksternal yang memadai, tercermin dari cadangan devisa yang tinggi serta defisit transkasi berjalan yang rendah.