Apindo: Banyak Pengusaha Kaya Tak Punya NPWP hingga Pensiun

Abdul Azis Said
15 Desember 2021, 08:24
apindo, pengusaha kaya, orang kaya, pensiunan kaya
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Apindo menyebut banyak pengusaha belum sadar terkait rencana adanya integrasi antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita melaporkan banyak pengusaha kaya yang ternyata masih belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hingga saat ini. Beberapa dari mereka bahkan sudah pensiun sehingga enggan melaporkan hartanya karena tidak lagi memiliki penghasilan.

Sasmita menyampaikan temuannya itu kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani secara langsung dalam acara sosiaslisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Selasa (14/12). Dia mengatakan, kebanyakan dari orang kaya tersebut memiliki sejumlah harta mewah yang tidak pernah dilaporkan ke pemerintah.

"Banyak sekarang yang belum punya NPWP tapi punya rumah besar, punya mobil mewah, juga punya jam tanganya mahal-mahal, itu banyak," kata Suryadi.

Dia mengatakan, banyak dari mereka yang belum sadar terkait rencana adanya integrasi antara Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan NPWP. Menurut dia, tidak sedikit yang masih mempertanyakan kecanggihan dari sistem perpajakan Indonesia, sehingga ragu dengan kemampuan pemerintah untuk melacak kekayaan tersebut.

"Banyak yang hartanya kan sebelum mereka pensiun dan sekarang sudah pensiun jadi merasa tidak perlu ada NPWP. Banyak yang bertanya seperti itu, karena orang-orang yang sudah pensiun ini kan yang uangnya sudah banyak bu (Sri Mulyani), tapi belum ada NPWP masih pakai KTP," kata Suryadi.

Oleh karena itu, Suryadi mengingatkan bagi para pengusaha untuk segera melaporkan hartanya yang belum atau kurang dilaporkan tersebut untuk ikut dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pajak. Program ini hanya akan berlangsung selama enam bulan mulai awal 2022 sampai akhir Juni 2022. Jika tidak ikut, maka harta yang tidak dilaporkan tersebut bisa dikenai tambahan sanksi 200% di luar tarif PPh final yang harus dibayarkan.

Bukan hanya itu, masalah lain yang juga banyak ditemui Suryadi saat mensosialisasikan UU HPP kepada rekan sesama pengusaha yakni kekhawatiran bahwa program PPS adalah jebakan pemerintah. Ini merupakan masalah lama yang juga banyak terjadi saat Tax Amensty jilid pertama.

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang hadir dalam acara yang sama kemudian menanggapi laporan Suryadi tersebut. Dia meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menjelaskan secara individualistik kepada para pensiunan kaya tersebut untuk penyelesaian kewajibannya.

"Kalau pensiun kan mestinya tidak dipajaki, betul, kalau tidak ada pendapatan yang masuk. Tapi kalau selama dia bekerja tidak pernah punya NPWP kan berarti panjang banget itu, mungkin itu perlu untuk menjadi objek yang perlu diungkapkan," kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani sebelumnya juga mengingatkan para penunggak pajak untuk mengikuti program PPS tahun depan. Jika tidak ikut, menurut Sri Mulyani, kekayaan yang belum atau kurang dilaporkan hingga akhir Juni 2022 dapat dikenakan sanksi dengan nilai lebih besar.

Program Pengungkapan Sukarela ini akan digelar dengan dua skema, yakni harta yang belum atau kurang dilaporkan sebelum 31 Desember 2015, dan harta yang dikumpulkan pada 2016 sampai Desember 2020.

Pada skema pertama, yakni untuk pengungkapan harga yang belum atau kurang dilaporkan sebelum 2015 berlaku ketentuan tarif sebagai berikut:

  • Tarif 6% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN
  • Tarif 8% untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
  •  Tarif 11% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Sedangkan pada skema kedua, untuk harta mulai 2016 sampai Desember 2020 akan berlaku tarif sebagai berikut:

  • Tarif 12% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN
  • Tarif 14% untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN
  • Tarif 18% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Adapun sanksi yang berlaku bagi WP yang kedapatan belum melaporkan harta sebelum 2015 dan tidak ikut dalam program PPS, maka akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final dari harta bersih tambahan tersebut dengan tarif 25% untuk badan, 30% untuk orang pribadi dan 12,5% untuk wajib pajak tertentu. Selain itu, Sri Mulyani akan mengenakan sanksi tambahan sebesar 200% atas aset yang kurang diungkap.

Sementara untuk WP yang kedapatan belum  melaporkan harta pada 2016-2020 dan tidak ikut dalam program PPS, maka akan dikenakan PPh final dengan tarif 30% dari harta bersih tambahan. Selain itu, aset yang kurang diungkap akan dikenakan sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor sebesar 20%.

Sanksi tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan tarif pajak yang diberlakukan pemerintah dalam program PPS.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...