IMF: Utang Korporasi Indonesia Berisiko Tinggi
Dana Moneter Internasional (IMF) menggolongkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan risiko utang korporasi yang tinggi. Indonesia juga dianggap memiliki indikator kesiapan menghadapi krisis utang korporasi yang rendah di bawah rata-rata negara yang disurvei.
IMF memantau 65 negara, terdiri atas 35 negara emerging market dan 30 negara maju. Dari pemantauan tersebut, terdapat 11 negara emerging yang utang korporasinya dikategorikan memiliki kerentanan tinggi, salah satunya Indonesia.
"Pengukuran kerentanan perusahaan sebagian besar diperoleh dari data neraca untuk perusahaan publik non-keuangan yang dirangkum dalam skor kerentanan perusahaan, yang terdiri dari enam metrik utama," tulis IMF dalam laporan terbarunya dikutip Kamis (24/2).
Keenam metrik pengukuran kerentanan tersebut antara lain, persentase pengembalian aset, rasio leverage, rasio cakupan bunga (ICR), rasio kas, persentase utang berisiko, dan persentase perusahaan berisiko yang diukur dari pangsa peringkat investasi. Data perusahaan tersebut diperoleh dari Standard & Poor’s Capital IQ untuk tahun 2019 and 2020.
Di Indonesia, dari enam metrik tersebut, dua diantaranya menunjukkan level kerentanan yang tinggi. Keduanya yakni rasio cakupan bunga (ICR) dan persentase utang yang berisiko. ICR merupakan rasio laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) terhadap beban bunga perusahaan.
"Utang berisiko didefinisikan sebagai total utang perusahaan publik dengan ICR di bawah 1 sebagai persentase dari total utang semua perusahaan publik dalam sampel kami," tulis IMF.
Tiga metrik menunjukkan level kerentanan yang medium, di antaranya persentase pengembalian aset, leverage ratio dan rasio kas. Persentase pengembalian aset dihitung berdasarkan pembangina EBIT terhadap total aset. Leverage ratio merupakan persentase total kewajiban terhadap total aset, sementara rasio kas merupakan persentase rasio kas dan setara kas terhadap kewajiban lancar perusahaan.
Sementara itu, laporan ini menunjukkan metrik yang menunjukkan level kerentanan rendah yaitu pangsa peringkat investasi alias share of IG firms. Ini mengukur proporsi keseluruhan dari perusahaan yang rentan di suatu negara.
Indonesia bukan satu-satunya negara emerging market yang memiliki kerentanan utang korporasi yang tinggi. Sepuluh negara lainnya yaitu Argentina, Vietnam, India, Kuwait, Pakistan, Oman, Sri Lanka, Nigeria, Tunisia dan Afrika Selatan. Dari sebelas negara tersebut, Indonesia berada di peringkat 10 dengan skor tertinggi yaitu 6,33 poin. Semakin tinggi skornya maka tingkat kerentanannya juga semakin besar.
Di ASEAN, Thailand dan Filipina termasuk negara EM dengan risiko kerentanan utang perusahaan yang rendah, sedangkan Malaysia masuk dalam daftar negara dengan kerentanan medium. Singapura termasuk negara maju yang tingkat kerentanan utang korporasinya berada di level medium.
Kerentanan utang korporasi Indonesia yang berada di level tinggi tidak diimbangi dari sisi kesiapan sistem kepailitan. Dalam laporan yang sama, IMF melakukan pemantauan terhadap 60 negara, termasuk Indonesia, mengenai kesiapsiagaan sistem kepailitan menghadapi krisis. Tingkat kesiapan ini diukur dari lima indikator yakni restrukturisasi di luar pengadilan, restrukturisasi hybrid, reorganisasi, likuidasi, dan kerangka kelembagaan.
Masing-masing indikator memiliki bobot yang sama yakni 20, sehingga secara total maksimal 100 poin. Semakin tinggi skor maka semakin baik pula kesiapannya. Dari laporan tersebut, indikator kesiapsiagaan Indonesia memiliki skor 42,8 poin, di bawah rata-rata dari semua negara yang disurvei IMF yakni 48,8 poin.
"Kerentanan cenderung lebih menonjol di yurisdiksi dengan kekurangan dalam kesiapsiagaan krisis, dan negara-negara tersebut perlu meningkatkan upaya untuk memperbaiki sistem kepailitan mereka," tulis IMF.
Selain Indonesia, negara emerging market lainnya yang memiliki kerentanan utang tinggi dan kesiapsiagaan rendah di bawah rata-rata adalah Vietnam, Afrika Selatan, Nigeria, Pakistan dan Sri Lanka.
Bank Indonesia mencatat total utang luar negeri korporasi pada tahun lalu turun dari US$ 209,3 miliar pada akhir 2020 menjadi US$ 205,9. Hal ini sejalan dengan pembayaran neto pinjaman dan utang lainnya selama periode kuartal IV 2021.