Pajak Karbon Ditunda, Sri Mulyani Cerita Kerumitan di Baliknya
Pemerintah menunda penerapan pajak karbon dari rencana awal pada 1 April 2022 menjadi Juli 2022. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah masih perlu melakukan koordinasi untuk menyinkronkan roadmap agar pelaksanaan pajak karbon berjalan baik.
Sri Mulyani menjelaskan, terdapat kerumitan yang muncul dari rencana pengenaan pajak karbon. Saat ini, pajak karbon yang dikenakan antara satu negara dengan negara lain sangat berbeda. Hal ini berpotensi memunculkan kebocoran yang ingin dihindari pemerintah.
"Ada negara yang mematok harganya US$ 3, US$ 25, bahkan US$ 40. Harga berbeda-beda akan membuka kemungkinan kebocoran. Jadi rezim dan kebijakan pasar karbon ini memang cukup rumit," ujar Sri Mulyani dalam PPATK 3rd Legal Forum di Jakarta, Kamis (31/3).
Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, Indonesia akan menerapkan kebijakan ini secara berhati-hati dan bertahap. Apalagi, Indonesia saat ini masih dalam proses pemulihan ekonomi.
"Climate change ini hampir dipastikan terjadi jika melihat kenaikan suhu dunia. Oleh karena itu, kami tetap menyiapkan perangkat regulasi," ujarnya.
Aturan pajak karbon tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres 98 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio mengatakan, pemerintah masih menggodok aturan pelaksana pajak karbon agar ada konsistensi antara dua beleid yang telah terbit tersebut. "Kami ingin memastikan konsistensi kebijakan pajak karbon agar juga sesuai dengan konteks Perpres NEK," kata Ferbio.
Selain masalah aturan pelaksana, Febrio mengatakan, penundaan ini juga dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah bulan Ramadhan. Penerapan pajak karbon yang akan berlaku lebih awal pada PLTU Batu Bara berpotensi mengerek tarif listrik.
"Fokus kebijakan pemerintah saat ini adalah memastikan kondisi kesejahteraan dan daya beli masyarakat," kata Febrio.
Sejumlah ekonom memperkirakan, rencana pemerintah mengenakan pajak karbon terhadap PLTU mulai April 2022 berpotensi mengerek tarif listrik. Mayoritas pasokan listrik di Indonesia masih mengandalkan PLTU berbahan bakar batu bara sehingga penerapan pajak karbon dapat mengerek Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.