IMF Peringatkan Bahaya Perbankan Borong Surat Utang Pemerintah

Image title
Oleh Abdul Azis Said
19 April 2022, 12:29
IMF, perbankan, surat utang pemerintah, stabilitas sistem keuangan
ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pras.
Ilustrasi. IMF mencatat, rata-rata rasio utang pemerintah negara emerging terhadap produk Domestik Bruto (PDB) naik menjadi 67% pada tahun lalu.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan ancaman stabilitas keuangan di tengah meningkatnya kepemilikan surat utang atau oblligasi pemerintah oleh perbankan. Hal ini dapat menciptakan apa yang disebut doom loop alias 'lingkaran malapetaka', seperti yang pernah terjadi di beberapa negara sebelumnya.

Pemerintah di seluruh dunia telah menggelontorkan banyak uang untuk membantu perekonomian di tengah pandemi, tak heran jika kemudian utang publik juga meningkat. IMF mencatat, rata-rata rasio utang pemerintah negara emerging terhadap produk Domestik Bruto (PDB) naik menjadi 67% pada tahun lalu.

Bank-bank pasar berkembang pun menempatkan sebagian besar dananya pada surat utang pemerintah. IMF mencatat, persentase kepemilikan utang pemerintah terhadap aset perbankan di negara emerging meningkat menjadi 17% pada tahun lalu. Di beberapa negara, persentasenya bahkan mencapai seperempat dari aset bank.

Hal tersebut menyebabkan pemerintah sangat bergantung pada bank untuk memperoleh pembiayaan. Sebaliknya, bank-bank juga sangat bergantung terhadap obligasi pemerintah sebagai pilihan investasi.

"Ada alasan untuk khawatir tentang perhubungan ini. Kepemilikan besar utang negara membuat bank mengalami kerugian jika keuangan pemerintah berada di bawah tekanan dan nilai pasar utang pemerintah menurun," kata IMF, Senin (18/4).

IMF mengatakan, tekanan pada keuangan pemerintah dapat merusak kredibilitas program penjaminan simpanan bank, melemahkan kepercayaan investor dan pada akhirnya merusak profitabilitas bank. Bank yang bermasalah kemudian membutuhkan dana talangan dari pemerintah yang ujung-ujungan semakin membebani keuangan publik.

Penyaluran kredit ke perusahaan maupun rumah tangga akan terganggu jika bank merugi karena keuangan pemerintah dalam tekanan. Kondisi ini tentu akan memengaruhi aktivitas ekonomi. Ketika ekonomi melambat, pendapatan pajak akan menyusut. Efeknya kembali lagi  kepada keuangan pemerintah yang dapat berada dalam tekanan yang lebih besar.

Hubungan antara negara dan bank tersebut ujung-ujungnya dapat mendorong pemerintah menuju gagal bayar. "Ada istilah untuk hal itu yang disebut juga 'lingkaran malapetaka' yang terjadi di Rusia pada 1998 dan Argentina pada 2001-2022," kata IMF.

Hal ini kian berisiko karena prospek ekonomi di negara emerging saat ini menghadapi risiko lebih besar dibandingkan negara maju. Negara emerging memiliki prospek pertumbuhan yang lebih lemah dibandingkan tren pra-pandemi. Selain itu, mereka juga memiliki kemampuan fiskal yang lebih sedikit untuk mendukung perekonomian. Di sisi lain, biaya utang luar negeri juga makin mahal.

Normalisasi kebijakan moneter di negara maju serta efek perang di Ukraina menyebabkan kondisi keuangan global makin ketat. Hal ini dapat menurunkan kepercayaan investor terhadap kemampuan pemerintah negara emerging dalam hal pembayaran utang. 

"Kehati-hatian fiskal diperlukan untuk menghindari intensifikasi lebih lanjut dari hubungan bank dan negara," kata IMF.

Dari sisi perbankan, penguatan ketahanan dengan menjaga penyangga modal yang menyerap kerugian juga dinilai penting. Hal yang dapat dilakukan yakni membatasi jumlah dividen dan buyback saham, mengingat ketidakpastian terhadap prospek ekonomi masih meningkat. Selain itu, bank juga perlu meninjau kualitas aset bank untuk mencapai tingkat permodalan yang memadai.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kepemilikan obligasi pemerintah oleh perbankan di Indonesia juga meningkat terutama selama dua tahun pandemi ini. Kepemilikan surat berharga negara oleh perbankan yang meningkat seiring dengan kepemilikan BI,  mengkompensasi penurunan porsi kepemilikan asing. 

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) per 14 April 2022, kepemilikan  Surat Berharga Negara (SBN) oleh perbankan mencapai Rp 1.693 triliun, naik hampir tiga kali lipat dibandingkan posisi sebelum pandemi atau akhir 2019. Dengan posisi saat ini, bank memegang hampir 35% dari total SBN domestik yang diperdagangkan, naik dibandingkan sebelum pandemi sebesar 21,12%.

 

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...