IMF Taksir Keuntungan Rp 1.124 Kuadriliun Jika Setop Pakai Batu Bara
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, negara-negara dunia dapat memperoleh keuntungan mencapai US$ 77,89 triliun atau setara Rp 1.124 kuadriliun (kurs Rp 14.433/US$) jika menghentikan penggunaan batu bara. Penghentian penggunaan batu bara dinilai menjadi cara yang efisien secara ekonomi untuk memulai transisi energi.
"Keuntungan ini menunjukkan peningkatan sekitar 1,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia saat ini setiap tahun hingga 2100," demikian tertulis dalam laporan IMF, seperti dikutip Jumat (3/6).
Perhitungan atas nilai keuntungan bersih dari penghentian batu bara tersebut dilakukan dengan membandingkan nilai manfaat dari penghentian batu bara dan biaya yang harus dikeluarkan dari tindakan tersebut. Biaya penghentian batu bara tersebut termasuk biaya untuk menyediakan sumber energi terbarukan.
Dari perhitungan IMF, nilai manfaat yang bisa dihasilkan dari penghentian batu bara jika mengacu pada kurs dolar 2022 yakni US$ 106,9 triliun atau Rp 1.542 kuadriliun. Sebaliknya, biaya yang dibutuhkan untuk menghentikan batu bara yakni US$ 29 triliun atau Rp 418 kuadriliun. Sehingga secara neto, ada keuntungan sebesar US$ 77,9 triliun. IMF memperkirakan nilai keuntungan yang bisa diperoleh itu sebesar US$ 125 per ton batu bara serta US$ 55 per ton CO2.
Lebih detail. biaya yang dibutuhkan untuk menghentikan penggunaan batu bara mayoritas berasal dari kebutuhan untuk investasi hingga US$ 28,98 triliun. Sementara itu, biaya dari potensi ekonomi yang hilang atau opportunity cost hanya mencapai US$ 50 miliar.
"Pada umumnya, biaya penghapusan batu bara secara bertahap terdiri dari investasi tambahan yang diperlukan untuk beralih ke sumber energi hijau," kata IMF.
Perkiraan IMF menunjukkan bahwa total produksi batu bara yang akan 'terlantar' dari penghentian batu bara mencapai 623,62 gigaton. Total emisi yang bisa dihindari mencapai 1.326,55 gigaton. Upaya ini juga disebut akan memberi kontribusi besar terhadap perlambatan perubahan iklim.
IMF mengatakan, analisis tersebut juga menunjukkan bahwa cara paling efisien secara ekonomi untuk memulai transisi energi yakni menghapus batu bara secara bertahap. Ini karena batu bara mengeluarkan dua kali lebih banyak karbon ke atmosfer per unit produksi energinya dibandingkan gas alam, serta 1,5 kali lebih banyak dibandingkan minyak.
Upaya untuk menyetop penggunaan batu bara juga mulai dilirik Indonesia. Dalam pertemuan KTT COP26 di Glasgow pada akhir tahun lalu, pemerintah bekerjasama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM), yakni mekanisme pembiayaan untuk segera mempensiunkan PLTU batu bara. Selain dengan Indonesia, dalam peluncurannya, skema ADB juga bekerjasama dengan Filipina dan Vietnam.
ADB menghitung, mekanisme ETM bisa membantu mengurangi emisi karbon dalam jumlah besar. Misalnya, menghentikan PLTU batubara selama 10-15 tahun ke depan di Indonesia, Filipina dan Vietnam dapat mengurangi 200 juta ton emisi per tahun atau setara dengan menghilangkan 61 juta mobil di jalan.
Indonesia adalah negara penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia. Permintaan ekspor batu bara pada sepanjang tahun ini mendorong permintaan ekspor kelompok barang pertambangan dan yang lainnya tumbuh 182,48% secara tahunan menjadi US$6,41 miliar pada April 2022.