Bea Cukai: Ekspor Sawit Melesat Berkat Tarif Pungutan Turun jadi 0%
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menyebut penurunan pungutan ekspor produk kelapa sawit dan turunannya menjadi 0% mulai menunjukkan hasil positif. Selama tiga hari pertama kebijakan tersebut berlaku, ekspor CPO tumbuh dua digit.
"Ada kenaikan ekspor CPO yang agaknya kami pantau secara harian. Kenaikannya cukup lumayan, di atas 50%," kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani kepada wartawan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Selasa (19/7).
Pemerintah memberlakukan larangan eskpor sawit dan turunannya selama tiga pekan sejak akhir April. Ekspor kembali diizinkan pada 23 Mei. Meski demikian, Asko menyebut ekspor tidak langsung pulih sekalipun larangan sudah dicabut. Poses pemulihan ekspor tersebut dinilai tak sesuai harapan pemerintah, karenanya diberikan insentif lain berupa penurunan pungutan ekspor jadi 0%.
Selain ekspor yang mulai pulih, harga lelang CPO juga disebut sudah meningkat. Harga Tandan Buah Segar (TBS) juga disebut sudah mulau naik seiring perusahaan kelapa sawit yang mulai membeli TBS dari petani. Harga TBS mulai merangkak naik ke atas Rp 1.000 per Kg setelah sebelum 15 Juni berada di bawah level tersebut.
Seiring diturunkannya pungutan ekspor tentu berpengaruh terhadap dana yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perlebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun, Asko menyebut penurunan tersebut tidak signifikan dibandingkan dengan dampak positif jika eksosistem kelapa sawit dan turunnya ini membaik.
"Nggak banyak lah potensi kehilangan pendapatanya, nggak sampe jauh," kata Asko.
Pungutan ekspor produk kelapa swit dan turunnya itu diturunkan sementara menjadi 0% hingga 31 Agustus 2022. Setelah itu, akan berlaku tarif progresif mulai awal September. Ketentuan lengkapnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu sebelumnya mengatakan pemberian pungutan ekspor 0% tersebu untuk mempercepat ekspor. Ia menegaskan bahwa kebijakan yang diambil pemerkntah tidak selalu bertujuan untuk mengerek penerimaan negara. Dalam konteks penurunan tarif tersebut, pemerintah melihat target menstabilkan supply dan demand lebih penting.
"Penerimaan negaranya sebenarnya tidak akan berdampak terlalu besar, penerimaan negara kita juga sudha tumbuh di atas 40% secara tahunan, jaid kita masih aman," kata dia kepada wartawan di Nusa Dua, Bali (16/7).