Babak Belur Tertekan Dolar AS, Rupiah Berpeluang Tembus Rp 16.000/US$
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah diramal belum akan berhenti sekalipun rupiah terpantau menguat pagi ini. Analis melihat ada pelung rupiah kembali melemah hingga menembus Rp 16.000 per dolar AS karena sejumlah faktor, terutama sentimen kenaikan bunga oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
Rupiah sempat dibuka menguat pagi ini menjauhi level Rp 15.600 meskipun masih fluktuatif. Rupiah menjadi salah satu mata uang di Asia yang paling perkasa terhadap dolar AS, saat yen Jepang anjlok 0,8% dan mayoritas mata uang Asia lainnya melemah.
Meski demikian, prospek rupiah ke depan masih suram. Analis DCFX Lukman Leong menyebut, penguatan dolar AS dan kekhawatiran terhadap inflasi domestik menjadi sentimen utama yang akan menyebabkan pelemahan rupiah ke depan. Selain itu, keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga 0,5% pekan lalu dinilai kurang agresif sehingga tidak terlalu manjur mengangkat rupiah.
"Rupiah masih sangat bisa mencapai Rp 16.000 per dolar AS apabila Bank Indonesia masih tetap kurang agresif," kata Lukman dalam keterangannya, Senin (24/10).
Meski demikian, menurut dia, pergerakan rupiah ke depan juga masih diwarnai optimisme. Sentimen positif dari domestik, terutama pertumbuhan ekonomi yang masih solid bisa menahan pelemahan yang terlalu dalam. Surplus neraca dagang juga masih berlanjut, setidaknya sudah surplus 29 bulan beruntun hingga bulan lalu.
"Namun potensi penguatan rupiah mungkin belum untuk saat ini, dolar AS sendiri diperkirakan masih akan kuat hingga kuartal pertama 2023," kata Lukman.
Senada, analis PT Sinarmas Futures Ariston Tjendra melihat peluang rupiah jatuh hingga level Rp 16.000 per dolar AS terbuka lebar. Ada dua sentimen utama yang dapat menyebabkan koreksi bagi rupiah. Pertama, kenaikan suku bunga The Fed. Bank sentral Amerika itu akan menggelar pertemuan pembuat kebijakan pekan depan. Mayoritas pasar memperkirakan suku bunga naik lagi 75 bps menjadi 3,75%-4%. Beberapa bahkan memperkirakan suku bunga The Fed diperkirakan tembus 4,5% pada akhir tahun ini.
Kedua, kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan resesi. Berbagai lembaga memperingatkan risiko resesi meningkat, dengan perlambatan akan terlihat di tiga ekonomi utama yakni Amerika Serikat, Eropa dan Cina pada tahun depan. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun depan hanya sebesar 2,7%.
"Namun kalau pekan depan The Fed memberikan sinyal akan menahan kebijakan kenaikan suku bunganya karena Amerika mengalami tekanan ekonomi, itu bisa membalikkan sementara penguatan dolar AS," kata Ariston.
Apa Penyebab Dolar AS Sangat Perkasa?
Mantan Menteri Keuangan yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Chatib menyebut, pelemahan rupiah saat ini tidak mencerminkan fundamental rupiah yang 'kalah' terhadap dolar AS. Dolar AS memang sedang dalam performa yang kuat karena tiga faktor utama.
Pertama, prospek ekonomi AS lebih baik dibandingkan Eropa sekalipun dua kawasan tersebut sama-sama dibayangi resesi. "Dengan pertumbuhan di AS yang relatif lebih kuat, implikasinya, dolar AS akan relatif kuat terhadap euro atau bahkan terhadap pound sterling. Ini mungkin pertama kalinya satu dolar AS setara dengan satu pound sterling pada saat ini," kata Chatib dalam konferensi internasional Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Selasa (18/10).
Kedua, AS merupakan net eksportir minyak saat ini. Harga energi yang tinggi akan menopang penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia lainnya. Ketiga, suku bunga di AS relatif naik lebih dulu dibandingkan banyak negara lainnya.
"Sehingga, akan ada aliran modal masuk untuk membeli US Treasury 10 tahun yang mungkin saat ini menjadi salah satu aset safe haven terbaik. Jadi dengan situasi seperti ini saya tidak akan terkejut bahwa dolar AS yang kuat akan terus berlanjut," kata Chatib.
Meski demikian, ia optimistis depresiasi tidak akan separah saat taper tantrum sembilan tahun silam. Alasannya, kepemilikan asing di dalam surat berharga negara (SBN) Indonesia sudah jauh berkurang, saat ini di belasan persen dari tahun 2013 yang masih di atas 30%. Hal ini memperkecil kemungkinan makin banyak modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik.