Rupiah Makin Jeblok, Ini Untung dan Rugi ke Ekonomi Indonesia
Nilai tukar rupiah berpotensi terus melemah hingga menembus Rp 16.000 per dolar AS. Pelemahan rupiah akan mempengaruhi perekonomian domestik secara luas mulai dari inflasi hingga keuangan pemerintah dan korporasi.
Mengutip Bloomberg, rupiah parkir di level Rp 15.586 per dolar AS pada penutupan perdagangan hari ini. Kurs garuda telah terdepresiasi 9,3% secara tahun kalender (ytd) atau penurunan 3,6% hanya dalam sebulan.
Sejumlah analis melihat masih ada risiko pelemahan rupiah ke depan sekalipun berhasil ditutup menguat sore ini. Rupiah berpotensi melemah hingga level psikologis baru Rp 16.000 per dolar AS.
Pasar masih memantau arah kebijakan bank sentral AS, The Federal Reserve ke depan. Mayoritas masih melihat suku bunga The Fed akan mencapai 4,5% pada akhir tahun. Rupiah bisa semakin tertekan jika Bank Indonesia tidak agresif menaikkan bunga sehingga spread antara suku bunga The Fed dan BI menyempit. Ini mempengaruhi daya tarik asing terhadap aset rupiah.
"Rupiah masih sangat bisa mencapai Rp 16.000 apabila Bank Indonesia masih tetap kurang agresif," kata analis DCFX Lukman Leong dalam keterangannya, Senin (24/10).
Selain itu, perhatian pasar saat ini juga terutama terhadap risiko resesi yang meningkat. Kekhawatiran ini bisa mendorong investor mengalihkan investasinya ke aset aman dolar, walhasil rupiah melemah.
Pelemahan rupiah lebih lanjut bisa 'melukai' perekonomian melalui berbagai jalur, sebagai berikut,
- Inflasi meningkat
Pelemahan rupiah menyebabkan biaya impor semakin mahal karena sebagian besar perdagangan luar negeri dilakukan melalui dolar AS. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut situasi ini akan semakin menekan dunia usaha yang selama ini sudah tertekan oleh biaya input yang mahal karena kenaikan harga komoditas serta biaya pengapalan.
Dalam situasi biaya impor makin mahal, banyak pengusaha akan memperitmbangkan meneruskan kenaikan biaya inpur ini kepada konsumen. Sederhananya, saat rupiah melemah, biaya input perusahaan makin mahal, sehingga biaya yang dibebankan ke konsumen juga dinaikkan.
"Namun itu tergantung penyesuaian dari sisi produsen. Kalau hitungan marginnya masih masuk, bisa saja kenaikan biaya impor itu tidak 100% diteruskan ke konsumen," kata Josua, Senin (24/10).
- Neraca Keuangan Perusahaan Kontraksi
Pelemahan rupiah juga akan mengganggu keseimbangan dari neraca keuangan korporasi. Perusahaan-perusahaan yang memiliki utang luar negeri terutama dalam denominasi dolar AS akan menanggung beban bunga utang jumbo.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, beban lebih berat akan dihadapi perusahaan yang basis pendapatannya rupiah tetapi harus membayar repatriasi keuntungan seperti dividen dalam dolar AS.
"Maka akan terjadi kontraksi pada neraca keuangan karena mismatch mata uang," Ujarnya dalam acara Konferensi Internasional BUMN, Selasa (18/10).
Namun demikian, Bank Indonesia memastikan bahwa kondisi korporasi Indonesia aman dari risiko tersebut. Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG pekan lalu menyebut, pihaknya memiliki ketentuan pemenuhan mitigasi risiko valas bagi perusahaan yang memiliki eksposur utang asing, baik berkaitan dengan hedging maupun ketentuan lainnya.
Selain itu bank sentral juga memastikan utang valas oleh korporasi itu juga manageable. Pasalnya mayoritas didominasi utang berjangka waktu panjang Kebanyak dari utang itu juga memiliki bunga fixed alias tetap, serta diterbitkan sebelum suku bunga The Fed setinggi sekarang.
- Defisit APBN melebar
Pelemahan nilai tukar juga akan mempengaruhi keseimbanagn neraca keuangan pemerintah. Dalam sensitivitas RAPBN 2023, setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS, akan menyebabkan defisit anggaran melebar Rp 3,1 triliun.
Pendapatan negara memang akan meningkat saat rupiah melemah, kira-kira kenaikan sekitar Rp 5,4 triliun untuk setiap pelemahan Rp 100 per dolar AS. Namun belanja meningkat lebih besar, yakni Rp 8,5 triliun. Karena itu secara neto akan menimbulkan defisit bagi APBN.
"Pelemahan nilai tukar rupiah akan mendorong peningkatan pembayaran bunga utang, subsidi energi, serta dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan PNBP SDA migas," kata Josua.
- Arus modal keluar makin deras
Investor asing akan melihat stabilitas nilai tukar ke depan. Josua menyebut, pemodal asing yang memegang aset dalam denominasi rupiah bisa saja keluar dari pasar keuangan domestik jika melihat prospek nilai tukar ke depan masih bisa tertekan. Pasalnya, dengan rupiah tertekan maka nilai portofolio investasi yang mereka pegang akan menyusut bersamaan dengan depresiasi rupiah. Karena itu, sebagai antisipasi penyusutan lebih dalam, asing akan mempertimbangkan untuk membawa dananya keluar.